Kanal24 – Sydney, Buntut panjang dari perang Rusia-Ukraina mengakibatkan efek domino bagi ketidakseimbangan pasokan energi global. Pendistribusian energi di seluruh dunia menjadi semakin kacau sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari lalu.
Saat ini, Rusia berperan sebagai pengekspor minyak dan gas alam terbesar dan memainkan peran utama dalam komoditas ini. Namun, negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menentang invasi memberlakukan embargo, sehingga berdampak pada langkanya pasokan gas, minyak, dan batu bara.
Alhasil harga bahan bakar dan listrik melambung naik, menyebabkan bengkaknya anggaran operasional di berbagai sektor, terutama industri, transportasi, dan rumah tangga. Tingginya harga bahan bakar menambah tekanan inflasi dan memicu krisis ekonomi di banyak negara.
International Energy Agency (IAE) melalui Sydney Energy Forum pada Selasa (12/7/2022), mengajak para pemimpin dunia untuk berkolaborasi demi mengatasi krisis energi global. Diskusi tingkat tinggi antara menteri dari Australia, Jepang, AS, Indonesia, India, Samoa, dan negara-negara lain berfokus pada eskalasi dan diversifikasi sumber daya alternatif yang berkelanjutan.
“Krisis energi global yang saat ini kita hadapi merupakan krisis terparah yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Untuk mengatasi hal tersebut, kita harus segera mengembangkan teknologi dengan nol emisi agar mampu menciptakan sistem energi yang terjangkau dan berkesinambungan. Saya sangat senang melihat para pemangku kepentingan dari berbagai negara menyambut hangat gagasan ini dan bersedia hadir dalam forum diskusi yang dipimpin oleh Pemerintah Australia dan IEA untuk memperkuat kebijakan internasional terkait keamanan energi,” ungkap Direktur Eksekutif IEA, Dr. Fatih Birol.
Sydney Energy Forum membahas laporan riset yang berjudul Securing Clean Energy Technology Supply Chains. Riset ini mengulas tentang teknologi berkelanjutan dan menilai rantai kebutuhan pasokan saat ini dan masa depan untuk teknologi primer yang ramah lingkungan, seperti panel surya, kendaraan berbahan bakar listrik, dan green hydrogen (hidrogen yang memiliki emisi karbon lebih rendah).
Selain itu, laporan ini juga menyediakan kerangka kerja bagi pemerintah dan industri untuk mengidentifikasi, menilai, dan menanggapi peluang dan kelemahan yang muncul dari teknologi tersebut. Laporan ini merupakan pendahuluan dari laporan lain yang berjudul Energy Technology Perspectives edisi 2023, sebuah publikasi riset unggulan IEA, yang menyajikan analisis rinci tentang apa yang diperlukan untuk mengembangkan dan memperluas berbagai rantai pasokan teknologi ramah lingkungan untuk mencapai sistem yang bersih dari emisi.
“Kami berusaha menggerakkan kebijakan dan inovasi, khususnya dalam bidang efisiensi bahan bakar kendaraan dan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir. Jika upaya ini berjalan dengan baik, maka dunia juga akan mendukung perkembangan yang terjadi. Dengan begitu, kita akan dapat melihat perbaikan kebijakan energi secara global dan menyeluruh,” imbuh Dr. Birol.
Dr. Birol optimis transisi menuju energi terbarukan dan ramah lingkungan akan berkembang pesat karena dipicu krisis energi global yang saat ini sedang melanda. Di samping itu semua, investasi pada riset diversifikasi energi terbarukan perlu digalakkan untuk mencapai target tahun 2050 zero emissions. (riz)
Sumber : iea.org