Kanal24, Malang – Kesetaraan gender di lingkungan kampus tidak bisa berhenti di ruang diskusi. Universitas Brawijaya (UB) melalui Catch and Shoot 2025 menegaskan pentingnya langkah konkret untuk membangun kampus yang aman, inklusif, dan bebas diskriminasi. Diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Progresif (P3) Eksekutif Mahasiswa UB, kegiatan bertajuk “Dari Kebijakan ke Aksi: Implementasi Kesetaraan Gender” ini digelar di Auditorium UB pada Kamis (23/10/2025).
Kegiatan tersebut menjadi puncak rangkaian program kerja P3 EM UB tahun 2025, sekaligus wadah untuk memperkuat pemahaman mahasiswa bahwa perjuangan menuju kesetaraan gender bukan hanya tentang teori, melainkan juga aksi nyata di lingkungan akademik.
“Kami ingin beralih dari konsep dan teori menuju tindakan nyata. Sudah waktunya kampus menjadi ruang yang benar-benar aman bagi semua, bukan hanya perempuan,” ujar Blandina Ratih Rahmaningrum, Menteri Pemberdayaan Perempuan Progresif EM UB.

Ratih menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya menciptakan sistem pendampingan yang mudah diakses korban kekerasan seksual maupun perundungan di kampus. Melalui inisiatif “Jaga Batin”, mahasiswa yang mengalami kekerasan dapat melapor melalui Google Form untuk mendapat tindak lanjut berupa pendampingan hukum, psikologis, hingga akademik.
“Kami tidak ingin korban merasa sendiri. Kami menjembatani mereka ke pihak yang tepat—baik konselor, lembaga hukum, atau rektorat,” tegasnya.
Selain pendampingan, P3 EM UB juga gencar melakukan edukasi melalui seminar, pelatihan, dan kampanye digital. Melalui infografis di media sosial seperti Instagram dan TikTok, pesan kesetaraan dan pencegahan kekerasan disampaikan secara masif dengan bahasa yang mudah dipahami.
Namun Ratih tak menutup mata terhadap masih lemahnya kesadaran kolektif di lingkungan kampus. Ia menyebut kasus kekerasan dan pelecehan masih sering muncul, menandakan bahwa upaya membangun kesadaran perlu terus dilanjutkan.
“Kesetaraan di UB memang sudah lebih maju dibanding banyak tempat lain, tapi pemerataannya belum merata. Masih banyak catatan, terutama soal kekerasan dan perundungan,” ujarnya.

Sementara itu, Kristian Focus Hutabarat, Ketua Pelaksana Catch and Shoot 2025, menyampaikan bahwa kegiatan ini dikemas secara kreatif melalui dua rangkaian utama, yaitu pameran dan talk show.
“Kami ingin mengajak semua orang—laki-laki dan perempuan—memahami bahwa kehidupan itu berjalan dengan dua sayap. Kalau satu sayap patah, kita tidak bisa terbang,” ujarnya.
Pameran yang dihadirkan menampilkan lukisan kolaboratif dengan Fakultas Vokasi dan Fakultas Ilmu Budaya, simulasi nyeri haid, hingga karya busana bertema penyintas kekerasan.
Menurut Kristian, simbolisasi tersebut penting agar masyarakat memahami kesetaraan gender tidak sekadar teori, tapi juga pengalaman hidup yang harus dirasakan, dihormati, dan dipahami.
Ia menegaskan, acara ini tidak hanya untuk mahasiswa UB, tetapi terbuka bagi masyarakat umum. “Kita ingin menyampaikan pesan bahwa dunia tanpa diskriminasi gender bukan utopia—itu sesuatu yang bisa kita mulai dari diri sendiri dan dari kampus ini,” pungkasnya.(Dht/Din)











Comments 1