oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sungguh ironis disaat sebuah kebijakan publik yang harusnya mampu memprioritaskan pada kepentingan menjaga keselamatan jiwa warga negara dikalahkan oleh sebuah pertimbangan ekonomi belaka. Sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengungkapkan alasan Presiden Jokowi tidak menerapkan lockdown atau penguncian akses wilayah baik secara regional maupun nasional di Indonesia. Salah satunya yakni mempetimbangkan berbagai akses ekonomi. Mengingat, sebagian besar pasokan barang di DKI Jakarta masih bergantung dari luar. Alasan kedua karena budaya dan kedisiplinan masyarakat Indonesia yang dianggap lentur. Kedua faktor inilah yang menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan tidak melakukan lockdown dan keputusan yang diambil adalah melakukan karantina mandiri dan kebijakan menjaga jarak fisik atau physical distancing. Namun belakangan muncul wacana karantina wilayah, pembatasan sosial skala besar hingga darurat sipil.
Sekalipun sebenarnya kebijakan pemerintah pusat terkait penanggulangan dan pencegahan wabah Covid-19 ini amat sangat terlambat terlebih sebelumnya pemerintah terkesan terlalu jumawa atas penyebaran virus ini sehingga dijadikan bahan lelucon dan gurauan dikalangan para pejabat negara hingga tetap saja membuka pintu untuk menerima para wisatawan atau pekerja dari luar negeri khususnya China untuk masuk ke negeri ini dengan mudah tanpa rasa curiga dan kekhawatiran penyebaran virus ini sama sekali.
Namun faktanya saat ini wabah virus corona atau covid-19 ini telah banyak menelan korban. Setidaknya berdasarkan data terakhir hari ini (Senin, 30 Maret 2020) di Indonesia telah tercatat 1.414 Positif Corona, 122 Meninggal dan 75 dinyatakan sembuh. Jumlah ini terus mengalami peningkatan jumlah yang signifikan dalam setiap harinya. Persoalan ini membutuhkan jiwa kepemimpinan dalam mencegah wabah virus secara tepat dan cepat dan penuh keberanian dalam bingkai tanggungjawab untuk menyelamatkan jiwa warga bangsa. Sehingga penyelamatan atas jiwa haruslah lebih didahulukan dan diutamakan daripada hanya sekedar pertimbangan ekonomi belaka.
Islam sebagai agama rahmad dan penebar kasih sayang kepada ummat manusia telah menetapkan tentang sebuah kaidah dalam penetapan setiap keputusan hukum dengan mempertimbangkan terhadap maqashid syariyah, maksud dan tujuan utama dalam setiap keputusan syara’.
Artinya bahwa setiap keputusan hukum dalam Islam adalah mengacu dalam rangka untuk menjamin segala hal demi tercapainya harapan hidup manusia yang damai sejahtera dengan dibangun atas beberapa prinsip filosofi berikut, yaitu :
1. memelihara agama (حفظ الدين),
2. menjaga individu (حفظ النفس),
3. memelihara akal (حفظ العقل),
4. memelihara keturunan (حفظ النسل) dan
5. menjaga harta (حفظ المال);
Artinya segala keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin muslim haruslah mengacu kepada kelima prinsip dasar pengambilan keputusan diatas. Dan manakala seorang pemimpin dihadapkan pada suatu pilihan antara mana yang harus lebih diutamakan antara menjaga kepentingan ekonomi dengan kepentingan menjaga keselamatan jiwa maka tentulah menjaga keselamatan jiwa (hifdhu an nafs) haruslah lebih diutamakan.
Untuk itu kiranya menarik mencermati logika yang dibangun oleh presiden Ghana saat menghadapi kasus serupa yaitu covid-19 di negaranya yang mengatakan, “we know how ro bring thw economy back to life. What we do not know is how to bring people back to life”. Logika ini sangat sederhana dan jelas namun mengandung rasa tanggungjawab kepemimpinan yang tinggi atas rakyatnya serta memiliki hati yang hidup dalam menjalankan kepemimpinannya yang tidak hanya sekedar mementingkan urusan perut semata namun harga sebuah nyawa dan jiwa masa depan sebuah bangsa jauh lebih penting dan utama.
Sehingga mengapa Nabi memberikan aturan tentang lockdown dan beliaulah yang pertama kali mengenalkan konsep ini, hal ini karena rasa tanggungjawab kepemimpinannya yang tinggi dalam menjaga jiwa setiap warga negara. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عَلَيْهِ
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini menegaskan perhatian dan tanggungjawab yang besar Rasulullah saw atas jiwa ummat sehingga mereka harus diperlakukan demikian agar mereka yang dari luar daerah terdampak tidak terjangkiti penyakit dan orang yang dari dalam daerah terdampak tidak pula menyebarkan penyakit terhadap masyarakat luar. Dan penularan penyakit dapat dikendalikan dengan baik. Semua ini dilakukan demi menjaga jiwa umat manusia (hifdhun nafs).
Demikian pula dengan Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang lebih memilih balik pulang ke Madinah saat mendengar bahwa di daerah Syam saat itu sedang terjangkit wabah penyakit tha’un. Beliau lebih memilih mengutamakan keselamatan jiwa dari pada sekedar mempertimbangkan kepentingan gengsi pribadinya. Inilah pemimpin pemberani yang tetap saja mendahulukan kepentingan keselamatan jiwa diri dan ummatnya. Lalu adakah pemimpin hari ini memiliki jiwa kepemimpinan melebihi dari sayyidina Umar? Sehingga mereka merasa lebih hebat darinya dan menolak melakukan lockdown hanya demi kepentingan ekonomi belaka? . Astaghfirullahal ‘adhim.
Dalam suasana genting menghadapi bencana yang seperti sekarang ini akibat wabah covid-19 yang semakin hari penyebarannya semakin sulit dikendalikan maka dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan kepedulian yang tinggi atas nasib rakyatnya serta keberanian yang dibangun atas rasa tanggungjawab kemanusiaan untuk lebih mengutamakan jiwa manusia daripada semata pertimbangan ekonomi belaka.
Namun demikian dalam keadaan yang seperti ini maka perlu jiwa kepahlawanan dari setiap individu bangsa untuk turut bersama-sama melawan wabah penyakit ini dengan kesadaran tinggi guna menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat sekitar dengan turut bahu membahu saling membantu dan mengingatkan agar dapat berdisiplin dengan mekanisme protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Semoga negeri ini diselamatkan dari wabah penyakit dan warga bangsanya selalu dilindungi oleh Allah swt Sang Pencipta segala realitas. Aamiiin…
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB