Kanal24, Malang – Langkah cepat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi menyalurkan dana likuiditas sebesar Rp200 triliun ke lima bank nasional menjadi ujian kecepatan sektor perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang tergolong berani ini diyakini mampu mempercepat perputaran uang di masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga momentum ekonomi di tengah tantangan global.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Prof. Setyo Tri Wahyudi, Ph.D., menilai keputusan tersebut merupakan langkah progresif yang menunjukkan arah baru kebijakan fiskal Indonesia di bawah kepemimpinan Menkeu Purbaya.
“Ini gebrakan luar biasa. Pemerintah ingin mempercepat pergerakan ekonomi melalui instrumen likuiditas, bukan hanya lewat stimulus konsumsi,” ujarnya.
Menurut Prof. Setyo, kebijakan ini menandai perubahan paradigma: dari pendekatan berbasis insentif fiskal langsung menjadi pendekatan berbasis distribusi dana melalui perbankan nasional. Lima bank besar yang menerima dana tersebut yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI, dengan nilai penempatan bervariasi antara Rp10 triliun hingga Rp55 triliun.
Serapan Tinggi, Bukti Perbankan Bergerak Cepat
Data per 30 September 2025 menunjukkan hasil menggembirakan. Dari total Rp200 triliun yang ditempatkan di bank nasional, sekitar 56 persen telah terserap, atau senilai Rp112,4 triliun.
Bank Mandiri mencatat serapan tertinggi dengan 74 persen atau Rp40,6 triliun, disusul BRI 62 persen (Rp33,9 triliun), BNI 50 persen (Rp27,6 triliun), BTN 19 persen (Rp4,8 triliun), dan BSI 55 persen (Rp5,5 triliun).
“Ini capaian yang luar biasa. Dalam waktu kurang dari sebulan sejak pelantikan Menkeu, serapan dana mencapai lebih dari setengah total yang disediakan. Artinya, perbankan nasional kita cukup responsif dan sehat,” tegas Prof. Setyo.
Ia menambahkan, kekhawatiran publik mengenai potensi kredit macet seperti krisis subprime mortgage di Amerika Serikat tidak terbukti di Indonesia. “Bank-bank penerima adalah lembaga dengan rekam jejak kuat. Mekanisme penyaluran kreditnya tetap mengikuti prinsip kehati-hatian,” jelasnya.
Tidak Membebani APBN, Justru Menggerakkan Ekonomi
Prof. Setyo menegaskan bahwa dana Rp200 triliun tersebut tidak bersumber dari APBN, sehingga tidak berdampak pada defisit atau pembiayaan sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan.
“Dana itu bukan hutang pemerintah. Ini adalah likuiditas yang diputar melalui bank nasional agar ekonomi bergerak lebih cepat. Jadi tidak ada kaitannya dengan struktur APBN atau pembiayaan utang negara,” terangnya.
Pemerintah pun telah menegaskan bahwa bank penerima tidak diperbolehkan menempatkan kembali dana tersebut ke surat berharga negara (SBN). Tujuannya jelas: uang harus hidup di sektor riil.
“Kalau dana besar itu hanya diputar kembali ke SBN, maka efeknya tidak terasa di masyarakat. Pemerintah ingin perbankan benar-benar menyalurkan dana ke sektor produktif dan UMKM,” kata Prof. Setyo.
Optimisme Ekonomi Jelang Akhir Tahun
Dengan serapan yang sudah mencapai 56 persen pada akhir September, Prof. Setyo optimistis target realisasi bisa mencapai 90 persen hingga Desember 2025. Menurutnya, indikator ekonomi akan mulai terasa pada triwulan IV, terutama dari sektor manufaktur dan konsumsi rumah tangga.
“Selama perbankan mampu menjaga ritme penyaluran dan fokus ke sektor padat karya, maka efek pengganda (multiplier effect) terhadap ekonomi akan besar. Lapangan kerja terbuka, upah meningkat, dan daya beli masyarakat pulih,” ujarnya.
Prof. Setyo juga menyoroti sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter sebagai kunci keberhasilan. Dengan suku bunga acuan Bank Indonesia yang turun di bawah 5 persen, kondisi ini semakin mendukung ekspansi kredit.
“Kalau kebijakan fiskal sedang menambah gas, maka moneter jangan menekan rem. Saat ini sudah selaras, dan ini momentum yang tepat untuk akselerasi ekonomi nasional,” tambahnya.
Menguji efektivitas Sinergi antar Lembaga Ekonomi
Pada akhirnya, langkah Menkeu Purbaya tidak hanya menguji kecepatan perbankan, tetapi juga menguji efektivitas sinergi antar lembaga ekonomi negara.
“Pemerintah sudah menyiapkan bahan bakarnya, sekarang tergantung seberapa cepat mesin perbankan memacu roda ekonomi,” pungkas Prof. Setyo.
Dengan performa serapan yang terus meningkat, Indonesia memasuki akhir 2025 dengan optimisme: pertumbuhan ekonomi yang lebih tangguh, stabilitas fiskal terjaga, dan sinyal kuat menuju era baru pengelolaan keuangan negara yang lebih dinamis dan produktif. (din/nid)










