Kanal24 – Kebijakan pemerintah menempatkan dana segar Rp200 triliun ke bank-bank BUMN menuai perhatian luas. Presiden Prabowo Subianto telah memberi restu kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggelontorkan dana tersebut dari total simpanan pemerintah Rp440 triliun di Bank Indonesia. Langkah ini diklaim sebagai upaya mempercepat perputaran ekonomi melalui sistem perbankan.
“[Presiden] sudah setuju. Sistemnya bukan saya kasih pinjam ke bank dan lain-lain. Ini seperti Anda menaruh deposito di bank. Kira-kira begitu kasarnya. Tapi kalau saya mau pakai, saya [bisa langsung] ambil,” ujar Purbaya (10/9/2025).
Secara sederhana, dana Rp200 triliun ini akan memperbesar likuiditas bank. Artinya, bank siap jika nasabah atau dunia usaha membutuhkan pinjaman maupun penarikan dana besar. Pemerintah juga melarang dana tersebut dipakai untuk membeli instrumen aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SBRI), agar bank benar-benar menyalurkan dana ke sektor riil.
Ekonom Ragu Efektivitas Stimulus
Sejumlah ekonom menyambut kebijakan ini dengan hati-hati. Menurut mereka, problem utama perekonomian Indonesia bukan sekadar kurangnya uang di bank, melainkan lemahnya minat pinjam akibat daya beli masyarakat yang lesu.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan, pertumbuhan kredit perbankan pada Juli 2025 hanya 7,03% secara tahunan. Angka ini turun dibanding Januari 2025 yang sempat mencapai 10,27%. Artinya, meski likuiditas ada, pelaku usaha dan masyarakat tidak cukup percaya diri untuk mengambil kredit.
“Persoalannya saat ini bukan seberapa banyak uang tunai di bank, tapi seberapa banyak orang yang mau pinjam. Lemahnya daya ambil kredit karena lemahnya daya beli,” ujar pengamat perbankan nasional, Doddy Ariefianto dikutip (15/9/2025).
Ia mengingatkan, di tengah kondisi “perekonomian yang tidak baik-baik saja”, sektor usaha lebih berhati-hati ekspansi. Bahkan kredit konsumtif seperti pembelian rumah atau kendaraan juga terhambat, sebab masyarakat khawatir akan ketidakpastian kerja dan risiko PHK.
Potensi Salah Arah
Kekhawatiran lain datang dari kemungkinan dana ini dialihkan untuk proyek-proyek pemerintah yang ambisius namun minim kajian. Ekonom menilai, bila penempatan dana bank justru dipakai membiayai program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Koperasi Desa Merah Putih, risikonya besar. Selain memicu kredit macet, potensi beban akhirnya bisa ditanggung Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Cerita di balik ini kan banyak proyek ambisius pemerintah yang kekurangan dana. Kalau semua dibiayai lewat mekanisme ini, negara bisa rugi. Risiko kredit macet juga bisa berimbas pada dana desa,” tambah Doddy.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, turut mengingatkan soal potensi inflasi. Menurutnya, jika dana Rp200 triliun tidak disalurkan secara produktif, yang terjadi justru kelebihan uang beredar tanpa penciptaan usaha baru.
Harapan untuk UMKM
Meski menuai kritik, kebijakan ini tetap membawa harapan, khususnya bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo, menilai tambahan dana akan memperbesar ruang likuiditas bank untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif. Hal senada disampaikan Bank Mandiri yang melihat kebijakan ini bisa memperkuat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sekaligus meningkatkan kredit.
Di Jawa Timur, termasuk Malang Raya, harapan ini sangat relevan. UMKM di sektor pertanian hortikultura, industri kreatif, hingga pariwisata lokal kerap terbentur akses permodalan. Tambahan likuiditas perbankan diharapkan bisa memberi kredit dengan bunga lebih ringan dan prosedur lebih sederhana.
Namun, tantangannya adalah memastikan agar distribusi kredit tidak hanya terserap oleh korporasi besar di kota besar. Tanpa mekanisme afirmatif, UMKM daerah bisa kalah bersaing.
Tujuh Desakan Ekonom
Menanggapi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah, aliansi 383 ekonom dan akademisi yang menamai diri Aliansi Ekonom Indonesia telah mengeluarkan “Tujuh Desakan Darurat Ekonomi”. Desakan itu antara lain menekankan perlunya perbaikan APBN, penguatan independensi lembaga negara, deregulasi birokrasi, serta fokus pada pengentasan ketimpangan melalui pemberdayaan UMKM dan penciptaan pekerjaan baru seperti green jobs dan digital economy.
Anggota Dewan Penasihat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Vivi Alatas, menegaskan, “Fokusnya bukan sekadar menambah uang beredar, melainkan memperkuat fondasi ekonomi. Dorong UMKM naik kelas, perkuat keterampilan tenaga kerja, dan buka peluang di sektor baru. Itu yang lebih mendasar.”
Momentum untuk Menguji Komitmen
Bagi pemerintah, kebijakan ini menjadi ujian awal apakah suntikan dana benar-benar berpihak pada pemulihan ekonomi atau sekadar menopang proyek populis. Dengan angka pengangguran yang masih tinggi dan daya beli masyarakat yang lemah, efektivitas kebijakan akan sangat ditentukan implementasinya di lapangan.
Jika kredit betul-betul mengalir ke UMKM dan sektor produktif, kebijakan ini bisa menjadi pemicu kebangkitan ekonomi daerah. Namun jika sebaliknya, suntikan Rp200 triliun hanya akan menjadi dana mengendap di bank atau teralihkan pada proyek yang tidak tepat sasaran.
Masyarakat kini menunggu langkah nyata pemerintah, bank, dan regulator dalam memastikan dana besar ini membawa manfaat langsung, bukan sekadar angka dalam neraca keuangan.