Kanal24, Malang — Inovasi tak selalu lahir dari laboratorium besar atau riset mahal. Bagi Dr. Premy Puspitawati Rahayu, S.Pt., M.P., dosen Program Studi Peternakan Universitas Brawijaya (UB), kreativitas justru muncul dari hal-hal sederhana yang dekat dengan keseharian — bahkan dari kulit apel yang sering dianggap limbah.
Dalam acara Tasyakuran Dies Natalis ke-64 Fakultas Peternakan UB, Dr. Premy menerima penghargaan sebagai Dosen Peraih Paten Tahun 2025, sebuah pencapaian yang menjadi bukti nyata bagaimana riset akademik bisa bertransformasi menjadi inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Paten ini merupakan salah satu luaran dari penelitian tim kami yang diharapkan tidak berhenti di dokumen saja, tetapi bisa sampai pada hilirisasi produk,” ujar Dr. Premy saat ditemui usai menerima penghargaan.
Inovasi dari Hasil Samping yang Bernilai Tinggi
Dalam penelitiannya, Dr. Premy bersama tim memanfaatkan komponen bioaktif dari limbah kulit keripik apel untuk menciptakan produk olahan hasil ternak berupa yoghurt fungsional. Melalui proses ilmiah yang disebut sportifikasi dan serangkaian teknik ekstraksi, mereka berhasil menemukan cara untuk menambah nilai gizi dan manfaat kesehatan pada produk peternakan.
“Saya mencoba memanfaatkan komponen aktif yang ada di alam, termasuk kulit apel yang ternyata punya potensi bioaktif tinggi. Komponen ini kemudian kami tambahkan ke produk seperti yoghurt fungsional,” jelasnya.
Inovasi tersebut tidak hanya memperkaya hasil penelitian di bidang teknologi hasil ternak, tetapi juga membuka peluang hilirisasi riset menuju industri pangan sehat yang bernilai ekonomi tinggi.

Tri Dharma dan Tantangan Manajemen Waktu
Sebagai dosen, Dr. Premy mengakui bahwa keberhasilan memperoleh paten bukanlah perjalanan yang mudah. Ia tetap harus menyeimbangkan tiga pilar utama Tri Dharma perguruan tinggi — pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat — di tengah tuntutan profesional dan akademik yang padat.
“Tantangan terbesarnya adalah membagi waktu. Kami harus bisa memanajemen antara kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat agar semua berjalan seimbang,” tuturnya.
Meski begitu, dedikasinya terhadap mahasiswa tidak pernah surut. Ia kerap melibatkan mahasiswa dalam proses penelitian hingga pengajuan paten, agar mereka memahami bagaimana riset bisa menghasilkan karya inovatif yang berdampak luas.
“Membimbing mahasiswa adalah bagian dari tanggung jawab kami. Tujuannya agar mereka berani berinovasi dan mampu melihat potensi dari bidang penelitian mereka sendiri, baik di level nasional maupun internasional,” tambahnya.
Dari Paten Menuju Produk Hilirisasi
Bagi Dr. Premy, memperoleh paten bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan langkah awal menuju pemanfaatan hasil penelitian secara lebih luas. Ia berkomitmen agar inovasi yang dihasilkannya tidak hanya berhenti sebagai karya ilmiah, tetapi bisa menjadi produk terhilirisasi yang berkontribusi pada industri peternakan dan pangan nasional.
“Ini PR besar bagi saya, bagaimana agar paten yang sudah ada bisa dikembangkan menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat,” katanya penuh semangat.
Melalui karyanya, Dr. Premy membuktikan bahwa riset peternakan tidak sebatas pada ternak dan produksi daging, tetapi juga menyentuh aspek inovasi pangan fungsional yang selaras dengan tren smart farming dan ketahanan pangan nasional.
Di usia ke-64 tahun Fakultas Peternakan UB, semangat seperti inilah yang menjadi bukti bahwa kampus tidak hanya melahirkan ilmuwan, tetapi juga inovator yang membawa perubahan dari laboratorium menuju kehidupan nyata.(Din/Yor)










