Kanal 24, Malang – Dalam beberapa bulan terakhir, media sosial dibanjiri unggahan foto hasil olahan kecerdasan buatan (AI). Ada yang menggunakannya untuk membuat foto profil lebih rapi, ada pula yang sekadar ikut tren dengan menempelkan wajah mereka di samping artis idola. Sekilas tampak seru dan modern, tetapi di balik itu tersimpan ancaman serius terhadap keamanan data pribadi.
Foto AI Jadi Tren Baru
Bagi generasi muda, AI terasa praktis. Cukup unggah foto lalu berikan perintah sederhana, hasilnya bisa menakjubkan. Raihan (23), mahasiswa asal Malang, misalnya, memanfaatkan platform generative AI untuk membuat foto profil profesional. “Cuma modal foto biasa, tulis prompt-nya, udah jadi foto formal kayak gini,” tutur Raihan kepada Tirto, Jumat (19/9/2025). Namun, tren tidak selalu berjalan positif. Belakangan, media sosial ramai dengan unggahan foto ala kamera polaroid yang menampilkan seseorang berpose mesra dengan idolanya. Mulai dari bintang K-Pop hingga pemain Timnas Indonesia ikut jadi korban. Tiga pemain Timnas, Rizky Ridho, Justin Hubner, dan Sandy Walsh, bahkan menyuarakan keberatan mereka. “Teman-teman minta tolong lebih sopan lagi ya, tidak perlu edit kayak gini,” tulis Rizky Ridho lewat Instagram Story. Sementara Sandy Walsh menegaskan, “Saya minta kepada orang-orang tidak mengedit foto saya menggunakan AI agar tidak memunculkan kesalahpahaman di kemudian hari.”
Batas Etika yang Dilanggar
Mengambil wajah orang lain lalu mengubahnya dengan AI, apalagi tanpa persetujuan, jelas melanggar etika. Menurut pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, risiko penyalahgunaan sangat besar. “Kalau foto ini dipakai, ini bisa untuk mendiskreditkan orang. Misalnya saya lagi mencalonkan menjadi kandidat gubernur, terus di-framing saya pernah berselingkuh,” ujar Firman. Lebih mengkhawatirkan lagi, masyarakat masih kesulitan membedakan mana foto asli dan mana hasil editan AI. Jika hal ini dibiarkan, kepercayaan publik pada informasi visual bisa semakin rapuh. “Data-data pribadi tadi, wajah, suara, gerakan, atau data biometrik, itu bahan baku penting untuk penyalahgunaan seperti pornografi atau fitnah,” tambahnya.
Celah Regulasi yang Belum Kuat
Sayangnya, perlindungan hukum di Indonesia belum cukup tegas. Kasus penyalahgunaan foto biasanya baru bisa diproses jika ada tindak pidana. Berbeda dengan Denmark yang memiliki undang-undang khusus melindungi data pribadi. “Kalau wajah saya dipakai tanpa izin, itu saya bisa menuntut. Sudah tegas kalau di Denmark. Nah, kalau di kita, mungkin masih sebatas etika,” jelas Firman.
Risiko dari Platform AI
Selain penyalahgunaan oleh pengguna, ada pula ancaman lain: data pribadi yang diserahkan ke platform AI itu sendiri. Fachry Hasani Habib, dosen Hukum dan Teknologi Digital dari Universitas Prasetiya Mulya, mengingatkan masyarakat agar lebih teliti. “Bahaya paling utama tentu penggunaan wajah yang termasuk data pribadi bisa disalahgunakan oleh platform. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana platform akan menggunakan data kita,” katanya. Ia menambahkan, masyarakat sebaiknya membaca terlebih dahulu syarat dan ketentuan sebelum mengunggah foto pribadi. Foto wajah, katanya, mengandung data berharga yang rawan digunakan di luar kendali pemilik.
Kasus Nyata di Dunia
Ancaman penyalahgunaan foto AI bukan sekadar teori. Pada 2023, Porcha Woodruff, seorang perempuan asal Detroit, Amerika Serikat, ditangkap polisi karena sistem pengenalan wajah keliru mengenali dirinya sebagai pelaku kejahatan. Kasus ini kemudian dibatalkan, tetapi cukup untuk membuktikan bahwa kesalahan AI bisa berakibat fatal bagi orang yang tidak bersalah.Lembaga hukum Innocence Project mencatat, meski akurasi pengenalan wajah meningkat, teknologi ini tetap rawan bias. Dalam banyak kasus, data yang digunakan tidak dapat dinilai keandalannya.
Perlu Kesadaran Bersama
Masyarakat kini berada di persimpangan: di satu sisi menikmati kemudahan teknologi, di sisi lain menghadapi risiko besar. Fachry menegaskan, sebelum mengunggah foto ke platform AI, pengguna harus mempertimbangkan dampaknya. “Kalau tidak ada kesepakatan, tentu ada pelanggaran terhadap penggunaan data pribadi yang tidak sah,” tegasnya. Untuk kasus foto vulgar atau pornografi, sudah ada payung hukum seperti UU ITE dan UU Pornografi. Namun langkah pencegahan selalu lebih baik daripada menunggu masalah muncul.
Bijak di Era Digital
Fenomena foto AI menunjukkan bahwa teknologi bisa memikat sekaligus berbahaya. Masyarakat perlu mengimbanginya dengan literasi digital dan sikap kritis. Jangan sampai tren yang seharusnya menyenangkan justru membawa dampak merugikan bagi orang lain. AI hanyalah alat. Bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah ia menjadi sarana kreativitas atau sumber masalah. Dengan kesadaran dan etika, kita bisa tetap menikmati manfaat teknologi tanpa harus mengorbankan privasi dan keamanan data pribadi.(hans)