Kanal24, Malang – Kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib hingga kini masih menjadi catatan hitam penegakan HAM di Indonesia. Lebih dari dua dekade sejak peristiwa tragis yang merenggut nyawa pejuang HAM tersebut, pengungkapan aktor intelektual di balik kematian Munir belum juga menemukan titik terang. Publik hanya mengetahui keterlibatan pilot Pollycarpus Budihari Prijanto, tetapi nama-nama besar di balik layar tidak pernah benar-benar terungkap.
Kepada Kanal24, Selasa (09/09/2025), Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.,menilai kasus Munir bukan sekadar persoalan hukum, melainkan menyangkut keberanian negara dalam membongkar operasi intelijen yang melibatkan kekuasaan pada masa itu.
Baca juga:
Kenaikan Tunjangan DPR Perlu Evaluasi Serius

Kritik Terhadap Lambannya Pengungkapan
Menurut Dr. Aan, eksekusi yang dilakukan Pollycarpus mustahil terjadi tanpa instruksi. Status Polikarpus sebagai pilot sekaligus intelijen menunjukkan adanya misi terstruktur di balik peristiwa tersebut. “Tidak mungkin seorang pilot tiba-tiba melakukan pembunuhan tanpa perintah. Itu jelas menunjukkan ada operasi besar,” ujarnya.
Kondisi ini membuat masyarakat tidak puas. Meski Pollycarpus telah dihukum, tuntutan publik agar aktor intelektual dibaliknya diadili tetap menggema. Dr. Aan menekankan, kasus Munir menjadi bukti bagaimana pembela HAM bisa dikorbankan dengan menggunakan instrumen negara, sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip perlindungan HAM nasional maupun internasional.
Hambatan Politik dan Kekuasaan
Dekan FH UB menyoroti bahwa sulitnya pengungkapan kasus Munir berkaitan erat dengan struktur politik yang tidak banyak berubah sejak era reformasi awal. “Sejak Munir tewas, rezimnya masih dalam lingkaran orang-orang lama. Ketika rezim tidak berganti, akan sangat sulit membuka kasus yang menyangkut operasi intelijen,” ungkapnya.
Hal ini, menurutnya, menjelaskan mengapa kasus Munir tetap mandek hingga hari ini. Penegakan hukum terbentur kepentingan kekuasaan, sehingga sulit menjangkau mereka yang berada di lingkaran atas.
Baca juga:
Buruh Gelar Demo 28 Agustus, Tujuh Tuntutan Disuarakan
Kasus Munir Sebagai Cermin
Dr. Aan menegaskan bahwa kasus Munir adalah simbol betapa beratnya perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Selama aktor intelektual di balik pembunuhan tidak tersentuh hukum, maka luka sejarah itu akan terus terbuka. Ia mengingatkan, negara harus berani menegakkan kebenaran agar kepercayaan publik tidak terus terkikis.
“Kasus Munir bukan hanya tentang hilangnya satu nyawa, tapi juga hilangnya perjuangan panjang membela hak asasi manusia. Jika ini dibiarkan, berarti negara mengabaikan perlindungan terhadap para pembela HAM,” pungkasnya. (nid/din)