Kanal24, Malang — Suasana sosial politik Indonesia belakangan ini diwarnai oleh berbagai aksi massa yang mencerminkan keresahan masyarakat. Tidak hanya menimbulkan korban luka maupun jiwa, aksi-aksi tersebut juga kerap berujung pada tindakan represif yang berlebihan, termasuk penangkapan sejumlah aktivis. Kondisi ini dinilai menjadi cerminan adanya ketidakadilan struktural serta kebijakan publik yang jauh dari rasa keadilan sosial.
Dalam forum para Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia yang digelar pada Rabu (03/08/2025), Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), menegaskan pentingnya menyuarakan sikap bersama. Menurutnya, kalangan akademisi hukum tidak bisa tinggal diam melihat fenomena sosial yang terus melahirkan luka di tengah masyarakat. Pernyataan sikap ini diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi pemerintah, pejabat publik, serta masyarakat luas dalam merespons dinamika hukum dan politik nasional.
Baca juga:
Urgensi Bahasa Isyarat di Sekolah Indonesia

Kebijakan Publik Dinilai Tidak Berpihak pada Rakyat
Dahliana menyoroti beberapa kebijakan yang dianggap menyakiti hati masyarakat, seperti keputusan menaikkan tunjangan jabatan DPR di tengah kondisi banyaknya pengangguran. Kebijakan tersebut menurutnya kontradiktif dengan realitas rakyat yang masih berjuang keras mencari lapangan pekerjaan.
Selain itu, ia menekankan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih belum berpihak pada masyarakat secara menyeluruh. Hasil pungutan pajak, yang seharusnya kembali untuk kepentingan publik, justru dinilai lebih banyak menguntungkan elit politik. Situasi ini membuat masyarakat semakin kecewa dan merasa jauh dari keadilan sosial yang dijanjikan dalam konstitusi.
Pentingnya Dialog Terbuka dan Etika Pelayanan Publik
Lebih lanjut, Dahliana menekankan bahwa pejabat publik seharusnya berperan sebagai pelayan masyarakat, bukan hanya sekadar memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, aksi damai yang dilakukan masyarakat semestinya didengar, bukan malah direspons dengan tindakan represif yang mencederai hak asasi manusia.
“Dialog harus dilakukan secara terbuka dan hasilnya diaktualisasikan dalam kebijakan nyata,” tegasnya. Baginya, pemimpin publik dituntut memiliki etika serta keberpihakan pada rakyat agar setiap keputusan yang diambil benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
Dorongan Evaluasi Kebijakan dan Reformasi Hukum
Tidak berhenti pada penyampaian pernyataan sikap, Dahliana juga menyebutkan bahwa para Dekan FH PTN se-Indonesia siap mendorong langkah nyata dalam melakukan evaluasi kebijakan nasional. Salah satu contohnya adalah keterlibatan mereka dalam judicial review terhadap regulasi yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan, seperti pada kebijakan sistem akreditasi pendidikan tinggi.
Menurutnya, keterlibatan dunia akademik dalam mengawal kebijakan negara merupakan bentuk tanggung jawab moral agar sistem hukum dan kebijakan publik di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan nilai demokrasi dan keadilan.
Baca juga:
FH UB dan Undip Jajaki Kerja Sama Double Degree
Harapan ke Depan
Dahliana menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perjuangan para akademisi hukum tidak boleh berhenti pada diskusi semata. Ia berharap hasil dari forum ini dapat melahirkan rekomendasi konkret, termasuk perubahan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga masyarakat benar-benar merasakan kehadiran negara dalam kehidupan mereka.
“Ini bukan sekadar pernyataan empati, tetapi juga komitmen untuk memperjuangkan evaluasi kebijakan bersama. Harapannya, suara yang kami sampaikan bisa mendorong perubahan nyata demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya. (nid/dht)