Kanal 24, Malang — Di tengah derasnya arus digital, masyarakat kini semakin lekat dengan gawai. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, layar ponsel seakan menjadi teman yang tak terpisahkan. Kebiasaan ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak hingga remaja yang hidup di era serba digital. Keterikatan ini menimbulkan fenomena baru: meningkatnya screen time atau waktu yang dihabiskan di depan layar. Data dari riset Meltwater menunjukkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan 7 jam 42 menit per hari untuk berselancar di internet. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kelima dunia dengan penggunaan screen time terlama.
Latar Belakang
Fenomena meningkatnya screen time bukan tanpa sebab. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu pemicu utama. Aktivitas belajar, bekerja, hingga bersosialisasi yang dipindahkan ke ruang digital membuat masyarakat semakin terbiasa mengandalkan gawai. Dalam laporan yang dikutip Tirto.id, angka penggunaan gawai bahkan melonjak signifikan saat pandemi. Waktu yang semula hanya beberapa jam dalam sehari, berubah menjadi hampir seharian penuh. Tidak sedikit orang yang merasa sulit melepaskan diri dari layar meski pandemi telah berakhir.
Jalannya Fenomena
Kebiasaan berlama-lama di depan layar membawa dampak nyata pada kesehatan. Dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Tjhin Wiguna, SpKJ, menjelaskan bahwa penggunaan gawai berlebihan dapat mengganggu kualitas tidur, menurunkan fokus, bahkan memicu kecemasan berlebih. “Kalau kita sering melihat layar sebelum tidur, otak jadi lebih aktif, sehingga butuh waktu lebih lama untuk benar-benar istirahat,” jelas Tjhin, dikutip Tirto.id.
Selain itu, penelitian dari Kompas mencatat bahwa screen time berlebih pada anak-anak bisa menurunkan kemampuan konsentrasi dan interaksi sosial. Anak cenderung lebih suka bermain dengan gawai ketimbang berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Di sisi lain, fenomena ini juga menimbulkan efek sosial. Masyarakat cenderung lebih banyak berinteraksi lewat ruang digital ketimbang bertemu langsung. Akibatnya, hubungan sosial yang hangat bisa tergeser oleh komunikasi singkat melalui pesan instan.
Kutipan Narasumber
Ahli komunikasi dari Universitas Airlangga, Rachmah Ida, menilai fenomena ini sebagai konsekuensi logis dari transformasi digital. Namun, ia menekankan perlunya kesadaran masyarakat agar tidak larut dalam ketergantungan. “Yang penting adalah bagaimana kita bisa menempatkan teknologi secara proporsional dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai teknologi justru mengendalikan manusia,” ujarnya, dikutip Tirto.id.
Sementara itu, pakar psikologi dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menekankan pentingnya disiplin pribadi. Menurutnya, masyarakat bisa mulai dengan mengatur waktu penggunaan gawai agar tidak berlebihan. “Detoks digital bisa menjadi salah satu pilihan untuk membiasakan diri kembali pada aktivitas nyata di luar layar,” jelasnya.
Manfaat Detoks Digital
Detoks digital kini menjadi istilah populer yang ditawarkan sebagai solusi. Detoks ini bukan berarti sepenuhnya meninggalkan teknologi, melainkan mengurangi intensitas penggunaan gawai dalam kehidupan sehari-hari. BBC menulis, detoks digital dapat membantu meningkatkan fokus, memperbaiki kualitas tidur, serta memperkuat hubungan sosial tatap muka. Meski begitu, praktik ini tidak selalu mudah dilakukan. Tantangan terbesar adalah membiasakan diri melepas gawai meski hanya dalam beberapa jam.
Namun, ada banyak manfaat yang bisa diperoleh. Dengan detoks digital, seseorang bisa lebih sadar dalam menggunakan teknologi, memilah informasi yang benar-benar penting, serta memberi ruang bagi aktivitas fisik maupun interaksi sosial yang lebih sehat. Jawa Pos juga mencatat, masyarakat yang mencoba detoks digital cenderung memiliki keseimbangan hidup lebih baik. Aktivitas harian menjadi lebih produktif karena fokus tidak lagi terpecah oleh notifikasi gawai.
Kesadaran Digital
Selain detoks, pendekatan lain yang ditawarkan adalah kesadaran digital. Konsep ini menekankan penggunaan teknologi secara bijak, bukan semata-mata mengurangi screen time. Kesadaran digital mengajak masyarakat untuk memahami kapan harus menggunakan gawai dan kapan sebaiknya berhenti. Dengan begitu, teknologi tetap bisa memberi manfaat tanpa mengorbankan kesehatan fisik maupun mental.(hans)