Kanal24, Malang – Dewan Jamu Indonesia dan Dewan Jamu Indonesia Jawa Timur bekerjasama dengan Universitas Brawijaya (UB) menyelenggarakan acara Talkshow dan Pelantikan Pengurus Dewan Jamu Indonesia Jawa Timur. Acara ini bertajuk “Jamu sebagai Complementary Medicine di Era Post Modern” dan digelar secara hybrid, pada Kamis (12/10/2023).
Complementary medicine, atau pengobatan komplementer, merujuk pada pendekatan medis yang melengkapi pengobatan konvensional dengan alternatif yang lebih holistik. Ini mencakup berbagai metode seperti pengobatan tradisional, akupunktur, herbalisme, serta penggunaan ramuan alami seperti jamu.
Acara ini menampilkan sejumlah pembicara terkemuka, termasuk Prof. Dr. Sukardiman, S., Apt (Guru Besar Farmasi UNAIR), dr. Daniel Tjen, Sp.S (Ketua Dewan Jamu Indonesia), Prof. Dr. Ir. Moch. Sasmito Djati, MS, IPU., ASEAN. Eng (Ketua Dewan Jamu Indonesia Jawa Timur), dan Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., D.Sc (Guru Besar FMIPA UB). Pada kesempatan ini, para pembicara berbicara tentang bagaimana jamu dapat menjadi bagian integral dari perawatan kesehatan modern.
Prof. Sasmito, Ketua Dewan Jamu Indonesia Jawa Timur, menyadari pentingnya mengintegrasikan jamu ke dalam sistem pengobatan modern. Jamu, menurutnya, bukan hanya sarana untuk penyembuhan, tetapi juga alat untuk menjaga keseimbangan kesehatan yang sangat penting.
Prof. Sasmito juga membahas jamu dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan seringkali bersifat materialistik, sementara jamu memiliki dimensi yang lebih luas. Ia mencatat bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan modern didasarkan pada konsep materialistik, sementara jamu sering kali dianggap sebagai metode pengobatan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan pendekatan ilmiah.
“Yang ingin saya sampaikan dalam topik ini adalah bahwa kita perlu mengintegrasikan jamu dengan sistem pengobatan modern,” ujar Prof. Sasmito.
Prof. Sasmito juga menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering kali dipengaruhi oleh kerangka berpikir Barat, yang mungkin belum tentu relevan di konteks jamu. Ia menyoroti penggunaan bahan kimia dalam obat-obatan modern yang seringkali dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dari luar seperti China dan Barat.
“Masih banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan Barat, tetapi kita dapat menjelaskannya dengan pendekatan modern. Untuk mencapai itu, kita perlu berjalan lebih dulu,” tambahnya.
Prof. Sasmito juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan dalam menjaga kesehatan. Ia menyatakan bahwa jamu, sebagai obat tradisional, dapat membantu menciptakan keseimbangan kesehatan individu.
Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Dr (H.C) dr. Daniel Tjen, Sp.S, Ketua Dewan Jamu Indonesia, menyatakan bahwa jamu tidak selalu dapat dijelaskan secara ilmiah. Karena asal usul dan penggunaan jamu yang bersumber dari tradisi turun-temurun dan budaya, metode ilmiah seringkali tidak dapat menggambarkannya sepenuhnya.
“Kekuatan Indonesia terletak pada budaya lisan. Oleh karena itu, kami melibatkan akademisi dan profesional lain untuk melakukan penelitian. Kami perlu meyakinkan masyarakat bahwa jamu aman dan berkualitas,” ujar dr. Daniel.
Daniel juga menjelaskan asal kata “jamu” yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu “jampi” atau “usodo.” Kata tersebut mengacu pada praktik penyembuhan menggunakan ramuan obat atau doa yang telah ada sejak zaman dahulu.
“Jamu adalah warisan budaya Indonesia yang sangat berharga, yang telah berkembang melalui beberapa generasi. Ini adalah kesatuan budaya yang luar biasa,” tegas dr. Daniel.(nid/din/skn)