Oleh : Akhmad Muwafik Saleh*
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya Al Qur’an, yaitu secara jumlatan waahidatan, jumlah yang utuh (Inzal), yaitu cara penurunan Al Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke langit bumi. Sementara, Al Qur’an diterima oleh Nabi saw turun secara bertahap, berangsur-angsur selama 23 tahun
melalui perantaraan Malaikat Jibril yang disebut dengan metode penurunan Al Qur’an secara Tanzil.
Lalu Mengapa Alquran diturunkan secara bertahap ?. Tidakkah Allah berkuasa menurunkannya secara langsung utuh pada satu waktu. Pertanyaan inilah yang juga ditanyakan oleh orang-orang kafir Quraisy Pada masa itu
{ وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَٰهُ تَرۡتِيلٗا }
Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).(QS.Al-Furqan: 32)
Disinilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala ingin memberikan hikmah pelajaran berharga kepada Rasulullah dan umatnya. Bahwa Al Qur’an oleh Allah diturunkan secara berangsur-angsur untuk membersamai Setiap peristiwa yang dialami oleh Nabi dan para sahabatnya, untuk memberikan bimbingan kepada nabi di saat menghadapi berbagai persoalan hidup, sekaligus untuk menguatkan hati nabi di saat mengalami berbagai tekanan, rintangan yang sangat dahsyat, serta juga untuk memudahkan bagi para sahabat dan umatnya dalam memahami dan menghafalnya. Tentu hal ini tidak akan terjadi, apabila Al Qur’an diturunkan secara utuh pada satu waktu.
Hingga Allah memberikan legitimasi atas kesempurnaan proses penurunan Al Qur’an , nilai kandungan dan aturan Allah. Berakhirnya proses itu dilakukan secara langsung oleh Allah dalam sebuah pernyataan justifikatif yang menegaskan bahwa Wahyu Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi saw telah sempurna, lengkap, komprehensif dan mampu menyelesaikan semua urusan dunia hingga akhirat. sebagaimana dalam firmannya :
ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Ma’idah: 3)
Firman Allah ini ingin menegaskan bahwa aturan Allah untuk manusia yang termaktub dalam Al Qur’an telah sempurna, bermakna. Sempurna berarti tidak ada cacat, tidak ada kekurangan, semua hal terkait persoalan dunia hingga akhirat telah terselesaikan dan dapat dijawab oleh Al Qur’an. Karena sempurna, maka tidak ada lagi keraguan. Karena sempurna, maka tidak butuh lagi pembanding. Karena sempurna, maka apabila seseorang masih memerlukan panduan lain dan mencampakkan Al Qur’an, Maka hal itu adalah sebuah kebodohan. Karena Bagaimana mungkin manusia masih bersedia mengambil sesuatu yang memiliki peluang ketidaksempurnaan karena dihasilkan oleh karya cipta makhluk, sementara dia mencampakkan kesempurnaan yang telah di justifikasi dan di legitimasi langsung oleh sang Pencipta Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka hanya orang yang berpikir waras sajalah yang mampu menerima logika argumentasi ini.
Al Qur’an berisi aturan-aturan dan panduan hidup dari Allah untuk umat manusia, bukan semata umat Islam, karena Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman penutup para nabi. Oleh karena itu, siapapun yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad, baik yang muslim (menerima aturan Allah) ataupun yang kafir (menolak aturan Allah) maka dia adalah orang yang menjadi objek (khitab) untuk menjalankan perintah Al Quran itu.
Sehingga apabila ada seseorang yang tidak mau menjalankan aturan Allah, maka seakan-akan dia merasa mencipta dirinya sendiri, dia merasa tidak ada Tuhan yang menciptanya, sehingga dia merasa tidak ada ikatan dan hubungan apapun dengan siapapun, sehingga dia tidak perlu merasa pula terikat dengan aturan siapapun. Tentu secara akal sehat, hal ini sebuah pandangan yang tertolak dan ini adalah sebuah kebodohan.
Namun apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah makhluk atau ciptaan maka dalam akal waras sesungguhnya dia juga harus merasa ada ikatan dengan yang menciptanya dan sang pencipta juga telah menetapkan berbagai aturan untuk mengatur hidup mereka demi keselamatan dunia hingga akhiratnya. Namun apabila orang yang sadar ini enggan dan tidak mau melaksanakannya maka tidak ada alasan lain kecuali disebabkan karena hawa nafsu dan kebodohan dirinya.
Bulan Ramadan sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an, sejatinya untuk mengingatkan kembali kepada umat manusia, terkhusus kepada umat Islam, agar kembali lagi kepada maksud diturunkannya Al Qur’an bagi umat manusia, Yaitu sebagai pedoman, panduan dalam menjalani hidup. Agar mereka segera kembali kepada aturan yang lurus ini, agar tidak tersesat, agar tidak terjadi kekacauan dalam hidup, agar bisa menata hidup sehingga terwujud realitas yang tenang, damai, adil dan sejahtera bagi semua umat manusia.
Jika hari ini Al Qur’an hanya sebatas dibaca hingga khatam berulang-ulang, sejatinya hal itu adalah tahap pertama untuk dapat kemudian memahaminya, dan selanjutnya dapat melaksanakan aturan-aturan dari dalam kandungan Al Qur’an bagi kehidupan. Namun tidak sedikit seorang muslim yang menjadikan Al Qur’an hanya sebatas bacaan dan kemudian tidak mau tahu dengan apa yang dibacanya dan mereka mengabaikannya. Hal demikian pernah dikeluh kesahkan oleh Rasulullah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِي ٱتَّخَذُواْ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورٗا
Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan.” (QS. Al-Furqan: 30)
Kemudian dijawab oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk meneguhkan hati nabi,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيٗا وَنَصِيرٗا
Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (QS. Al-Furqan: 31)
Artinya seseorang yang tidak mau mengindahkan aturan Allah dalam Al Qur’an maka mereka dikategorikan berdosa dan telah berhadap-hadapan dengan Allah sebagai kelompok penentang.
Terkait dengan berbagai macam orang yang memperlakukan Alquran maka secara tegas Allah memberikan klasifikasi siapa saja di antara mereka itu .
{ ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَيۡرَٰتِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِيرُ }
[Surat Fathir: 32]
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.
Yang pertama adalah orang yang menzalimi diri mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang menolak Al Qur’an, menolak kebenaran dan tidak mau peduli dengan aturan Allah sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an.
Kelompok yang kedua adalah orang-orang muqtasid yaitu dia percaya bahwa Al Qur’an adalah Firman Allah, bahwa di dalam Al Qur’an ada perintah-perintah Allah, tapi mereka tidak mau menjalankannya, mereka pura-pura tidak mau tahu atas Aturan itu, mereka tidak mengindahkan aturan Allah untuk dijalankan dalam kehidupannya. Pura-pura tuli dan buta.
Kelompok yang ketiga adalah assabiqunal Khairat yaitu orang-orang yang bersedia menerima tunduk patuh dan menjalankan dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh untuk menerapkan aturan Allah yang termaktub dalam Al Qur’an, hadis nabi dan orang-orang Saleh, untuk dijalankan dalam kehidupannya secara nyata. Sekalipun memang orang model yang seperti ini tidaklah banyak
Dari tiga kelompok manusia tersebut, kita termasuk dalam kelompok yang mana? Berada di posisi yang mana diri kita saat ini ?. ? Semoga Allah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita agar termasuk dalam kelompok yang Assabiqunal Khairat biidznillah. (ams)
*) Akhmad Muwafik Saleh, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Pengasuh Ponpes Mahasiswa Tanwir al Afkar Malang