Oleh : James Hansen Abednego*
Meski sudah ada peraturan yang mengatur tentang hak kerja penyandang disabilitas, banyak difabel di Indonesia masih mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Masalah seperti diskriminasi rekrutmen, fasilitas yang tidak aksesibel, hingga ketimpangan upah menjadi hambatan nyata di dunia kerja.
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2020 yang mewajibkan kuota minimal 2% pekerja disabilitas di lembaga pemerintahan dan 1% di sektor swasta. Sayangnya, data dari Kementerian Sosial menunjukkan jumlah difabel yang bekerja baru mencapai sekitar 763.925 orang, atau hanya 0,55% dari total angkatan kerja nasional pada 2023. Angka ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh kebijakan tersebut
Baca juga : Komunikasi Inklusif di Media Sosial: Mewujudkan Ruang Digital yang Setara
Masih Menghadapi Diskriminasi Saat Rekrutmen
Banyak penyandang disabilitas yang mengaku pernah mengalami diskriminasi saat melamar kerja. Dalam berbagai diskusi daring, beberapa di antaranya mengungkapkan bahwa mereka lolos seleksi administrasi dan tes online, tetapi kemudian tidak dipanggil ke tahap wawancara karena dianggap tidak sesuai dengan “budaya kantor” atau karena kantor tidak punya aksesibilitas dasar, seperti ramp atau lift.
Situasi ini memperlihatkan bahwa diskriminasi tidak hanya datang dari faktor kemampuan kerja, tetapi juga dari asumsi dan minimnya pemahaman terhadap kebutuhan difabel. Padahal, banyak penyandang disabilitas memiliki kualifikasi yang sama atau bahkan lebih tinggi dibanding pelamar umum.
Ketimpangan Upah Jadi Masalah Tambahan
Pekerja difabel yang berhasil mendapatkan pekerjaan pun kerap menerima upah yang tidak layak. Data komunitas pekerja menunjukkan banyak dari mereka yang hanya bisa bekerja di sektor informal atau pertanian dengan penghasilan di bawah upah minimum regional. Hal ini diperparah oleh kurangnya jaminan kerja dan perlindungan sosial yang memadai.
Menurut laporan, pekerja difabel yang menjalani pekerjaan penuh waktu di sektor informal sering menerima penghasilan sekitar Rp1 juta per bulan, jauh dari angka kebutuhan hidup layak yang ditetapkan oleh pemerintah.
Baca juga:
Mahasiswa FH UB Tanamkan Jiwa Nasionalisme pada Siswa SDN 2 Wonosari
Kurangnya Akses Fasilitas di Kantor
Akses terhadap fasilitas kerja juga menjadi tantangan utama. Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI) menyebut bahwa banyak kantor belum menyediakan fasilitas seperti lift, toilet khusus, penunjuk arah bagi tunanetra, atau sistem komunikasi visual untuk teman tuli. Hal ini membuat banyak difabel kesulitan menyesuaikan diri di tempat kerja.
Padahal, Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 sudah mewajibkan setiap instansi dan perusahaan yang mempekerjakan difabel untuk menyediakan akomodasi yang layak agar mereka bisa bekerja secara setara.
Tantangan Implementasi Kuota Disabilitas
Penerapan kuota 2% di ASN dan 1% di sektor swasta, meskipun telah diatur dalam PP No. 60/2020, masih belum berjalan maksimal. Banyak instansi pemerintah dan perusahaan swasta yang hanya menjadikan kuota sebagai formalitas tanpa adanya dukungan nyata seperti pelatihan kerja, aksesibilitas, dan adaptasi sistem rekrutmen.
Selain itu, sistem seleksi seperti Computer Assisted Test (CAT) dalam seleksi ASN juga belum semuanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta difabel. Hal ini menimbulkan hambatan dalam akses informasi maupun keadilan dalam proses seleksi.
Pemerintah Perkuat Aturan dengan Surat Edaran
Sebagai bentuk upaya pencegahan diskriminasi, Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran (SE) No. M/6/HK.04/V/2025. SE ini menekankan pentingnya rekrutmen kerja yang inklusif dan melarang syarat diskriminatif seperti batas usia yang tidak relevan atau penampilan fisik tertentu.
Namun menurut sejumlah pengamat kebijakan, surat edaran ini belum cukup kuat untuk memaksa perusahaan tunduk karena sifatnya hanya imbauan. Mereka mengusulkan agar ketentuan ini ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri atau Undang-Undang agar bisa memberi efek hukum yang lebih kuat.
Baca juga:
UB-KLH Perkuat Kolaborasi Tata Lingkungan Nasional
Harapan untuk Kedepannya
Harapan kedepannya, peluang kerja bagi penyandang disabilitas tidak hanya sebatas angka kuota dalam peraturan. Dibutuhkan komitmen nyata dari pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk membangun lingkungan kerja yang benar-benar inklusif dan aksesibel.
Penerapan kuota harus disertai sistem rekrutmen yang adil, pelatihan kerja yang tepat sasaran, serta penyediaan fasilitas yang memadai di tempat kerja. Perusahaan juga diharapkan mulai melihat disabilitas bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai potensi yang bisa dikembangkan.
Dengan kolaborasi yang kuat dan kebijakan yang berpihak, Indonesia bisa menjadi negara yang memberi ruang kerja setara bagi semua warganya, termasuk penyandang disabilitas. (han)
*) James Hansen Abednego, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Semester 6 di Fakultas FISIP Universitas Brawijaya, Difabel Tuli.