Kanal24 – Malang, Penyebarluasan informasi terkait bank sampah di Kota Malang terhadap masyarakat umum masih terbatas dari mulut ke mulut. Keluhan ini disampaikan oleh salah satu nasabah bank sampah Malang pada forum diskusi iTalk: iLitterless Talk yang bertajuk “Ekonomi Sirkular Sekarang Juga!”. Nasabah tersebut menyayangkan tidak updatenya media sosial bank sampah. Padahal di masa yang serba mengandalkan teknologi seperti ini, promosi melalui platform digital akan memberikan influence yang jauh lebih besar daripada promosi yang dilakukan secara konvensional.
Menanggapi keluhan ini, pengelola bank sampah Malang, Kartika mengungkapkan bahwa sulitnya digitalisasi bank sampah disebabkan oleh terbatasnya pegawai, waktu, dan biaya. Sebelum pandemi, jumlah pegawai bisa mencapai lebih dari 15 orang, tetapi setelah pandemi jumlahnya menjadi kurang dari 10 orang. Dengan keterbatasan sumber daya manusia ini, bank sampah terkendala dalam hal cepatnya penanganan. Pihak pengelola juga terpaksa harus membebankan dua pembagian kerja kepada satu orang sekaligus. Terlebih, biaya operasional bank sampah bisa mencapai sekitar 20-30 juta per bulannya. Sedangkan keuntungan yang dihasilkan, tidak sampai 20 juta. Biaya operasional tersebut meliputi biaya listrik, bensin untuk kendaraan pengangkut sampah, dan gaji pegawai.
“Kalau dibilang non-profit ya ada profit, cuman ya itu, profit hanya untuk menutupi biaya operasional saja. Kalau tidak ada profit ya tidak mungkin pegawai saya gajian tiap bulan. Saat ini kami sedang berjuang mencukupi kebutuhan kami karena di situ ada anak istri pegawai yang harus dihidupi. Bisa rutin bayar gaji pegawai saja sudah alhamdulillah,” ungkap Kartika.
Kartika berpendapat bahwa seharusnya pemerintah membantu pihaknya untuk memperluas kerjasama dengan perusahaan-perusahaan. Ia mengibaratkan bank sampah seperti anak, sedangkan pemerintah sebagai ayah dan perusahaan sebagai ibunya. Seorang anak pasti membutuhkan dukungan orang tua untuk menjalani kehidupannya, begitu juga dengan bank sampah. Supaya operasionalnya tetap berjalan sebagaimana mestinya, bank sampah membutuhkan support yang berkelanjutan dari kedua belah pihak tersebut. Ia menuturkan, banyak bank sampah di seluruh Indonesia yang akhirnya tutup karena tidak mendapat sokongan dari pemerintah dan perusahaan. Langkah lain yang seharusnya diambil pemerintah adalah dengan menetapkan kebijakan yang tegas kepada para pengusaha atau perusahaan yang tidak cukup memberikan concern pada lingkungan.
“Mereka yang jualan, mendapatkan keuntungan yang besar dari masyarakat, tetapi kenapa malah kami yang mengurusi sampah mereka? Dengan pemerintah bertindak tegas, harapannya mereka mau berkomitmen menyisihkan sebagian laba untuk mengurusi masalah sampah dari produk yang mereka hasilkan,” imbuhnya.
Kartika berharap agar pemerintah, CSR (Corporate Social Responsibility), dan seluruh lapisan masyarakat dapat bersinergi untuk mendukung bank sampah dan berbagai LSM lain yang peduli terhadap isu-isu sampah. Terkait aksesibilitas informasi dalam digitalisasi bank sampah, Kartika memohon kesediaan masyarakat agar menjadi sukarelawan tetap dalam menjalankan sosial media milik bank sampah sehingga eksistensinya semakin dikenal dikenal luas oleh masyarakat.
“Karena tidak ada waktu dan dana yang dapat dialokasikan ke medsos, ya terpaksa kami beroperasi apa adanya. Jadi silakan langsung datang saja ke kantor jika ada keperluan. Kami sangat terbuka pada masyarakat atau adik-adik mahasiswa yang ingin bekerjasama ataupun menjadi sukarelawan,” pungkasnya. (riz)