Kanal24, Malang – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengukuhkan bahwa pendidikan dasar harus gratis bagi seluruh warga negara, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Putusan ini sejalan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan negara memastikan pendidikan dasar tidak membebani masyarakat.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 3/PUU‑XXII/2024 menegaskan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar tanpa memungut biaya, tidak hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Putusan ini merupakan hasil pengujian atas Pasal 34 ayat (2) Undang‑Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang selama ini hanya diterapkan pada sekolah negeri.
Namun, polemik muncul terkait bagaimana pemerintah akan merealisasikan putusan tersebut di tengah berbagai tantangan anggaran dan efisiensi. Putusan ini menjadi sorotan karena diikuti oleh kontroversi seputar anggaran negara, khususnya terkait isu efisiensi. Kebijakan seperti penghapusan perjalanan dinas hingga pembatasan kegiatan di hotel beberapa waktu lalu dikaitkan dengan program makan siang gratis yang dicanangkan sebelumnya. Situasi ini memperlihatkan urgensi untuk menata ulang prioritas anggaran negara agar kewajiban pendidikan gratis benar-benar dapat terlaksana.
Menakar Prioritas Anggaran Usai Putusan MK
Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., Pakar Hukum dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menilai bahwa persoalan ini tidak dapat dilihat secara parsial. “Kita harus luruskan dulu masalahnya. Gonjang-ganjing ini bukan sekadar soal putusan MK, tetapi lebih kepada bagaimana pemerintah menata prioritas anggaran dengan benar. Putusan MK hanya mengingatkan bahwa pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, wajib gratis,” ujarnya.
Menurut Dr. Aan, pembiayaan pendidikan dasar yang gratis seharusnya menjadi prioritas negara. Namun, ia menyoroti berbagai pengeluaran yang dianggap kurang relevan dengan amanat konstitusi. “Sejak awal, kita melihat ada banyak pengeluaran untuk membentuk kementerian dan lembaga baru yang sebenarnya tidak mendesak. Biaya yang dihabiskan untuk itu seharusnya bisa dialihkan untuk membiayai pendidikan dasar,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia juga mengkritisi kebijakan yang memungkinkan korupsi di sektor sumber daya alam. “Baru-baru ini, kita melihat dugaan korupsi di sektor sawit, nikel, hingga batubara dengan nilai triliunan rupiah. Jika potensi sumber daya ini dikelola dengan baik, hasilnya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan, sesuai amanat konstitusi,” jelasnya.
Konstitusi sebagai Landasan Kebijakan
Putusan MK ini, menurut Dr. Aan, seharusnya menjadi pengingat bahwa investasi terbesar bangsa adalah pada sumber daya manusia. “Investasi terbesar kita itu adalah pada anak-anak yang saat ini ada di pendidikan dasar. Jika negara tidak menjamin pendidikan mereka, maka kita telah mengabaikan amanat konstitusi,” tegasnya.
Dr. Aan juga memberikan rekomendasi konkret agar pemerintah segera mengevaluasi ulang struktur organisasi kementerian dan lembaga. “Jika pembentukan kementerian baru dilakukan tanpa perhitungan matang, maka seharusnya evaluasi dilakukan untuk merampingkan anggaran. Manajemen pemerintahan modern harus lincah dan mampu menyesuaikan diri dengan prioritas konstitusional,” tambahnya.
Sebagai solusi, Dr. Aan mengusulkan pendekatan berbasis efisiensi dan penegakan hukum yang lebih tegas. “Korupsi di sektor strategis harus dihentikan, dan anggaran untuk program-program tidak relevan harus dialihkan. Kewajiban negara adalah memastikan pendidikan dasar gratis dan berkualitas untuk semua anak Indonesia,” katanya.
Putusan MK ini menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi pemerintah untuk membuktikan komitmen terhadap amanat konstitusi. Dengan manajemen anggaran yang tepat dan penegakan hukum yang tegas, harapan untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi seluruh anak Indonesia bukan hal yang mustahil.(Din)