Kanal24, Malang – Di tengah dinamika konflik bersenjata internasional yang kian kompleks, kebutuhan akan mekanisme perlindungan penduduk sipil terus menjadi perhatian dunia. Kesadaran itulah yang menjadi latar belakang pelaksanaan Ujian Terbuka Disertasi Elisabeth Septin Puspoayu, S.H., M.H., mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).
Acara yang membahas “Bantuan Kemanusiaan dalam Pemenuhan Hak Penduduk Sipil pada Konflik Bersenjata Internasional” ini digelar oleh FH UB pada Senin (24/11/2025) di Auditorium Gedung A Lantai 6 FH UB.
Kebaruan Teoretis dalfam Hukum Humaniter Internasional
Ujian terbuka ini menghadirkan Prof. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sebagai penguji tamu. Dalam penilaiannya, Prof. Jaka menegaskan bahwa disertasi Elisabeth mengandung unsur kebaruan yang penting dalam konteks hukum humaniter internasional, terutama terkait akses terhadap bantuan kemanusiaan.

“Disertasi ini memberikan satu tanggapan yang bagus dalam perbaikan koordinasi dan akses bantuan kemanusiaan yang wajib diberikan oleh pihak-pihak yang bertikai. Kadang pengurangan akses ini digunakan sebagai metode berperang, padahal dilarang dalam hukum humaniter internasional,” ujarnya.
“Secara teoretis, ini memberikan perbaikan ke depan terkait pembentukan norma, reformasi kelembagaan, dan pengurangan ambiguitas hukum dalam pemberian bantuan kemanusiaan—baik internal para pihak maupun eksternal seperti ICRC dan PBB,” lanjutnya.
Prof. Jaka juga memberikan pesan konstruktif agar penelitian ini terus dikembangkan karena relevansinya akan terus muncul dalam dinamika konflik antarnegara.
Syarat Tambahan Demi Hindari Penghalangan Bantuan Kemanusiaan
Dalam paparannya, Dr. Elisabeth Septin Puspoayu, S.H., M.H. menjelaskan bahwa disertasinya berfokus pada upaya memperkuat mekanisme bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil, mengingat praktik penghalangan distribusi bantuan masih sering dilakukan oleh negara-negara yang terlibat konflik.
“Selama ini terdapat penghalangan dari negara-negara terhadap bantuan kemanusiaan. Saya menawarkan tiga syarat tambahan agar bantuan kemanusiaan tidak lagi dihalangi dan tidak terjadi praktik berbeda antarnegara,” jelas Elisabeth.
Menurutnya, urgensi penelitian ini bertumpu pada situasi internasional yang semakin membutuhkan instrumen hukum untuk memastikan perlindungan manusia sebagai prioritas utama.
“Saya tidak bertujuan menyelesaikan konfliknya, tetapi menyelamatkan manusianya. Penduduk sipil harus mendapat hak-haknya meski berada di wilayah konflik,” tegasnya.
Menuju Implementasi Global dalam Kebijakan Kemanusiaan
Elisabeth menegaskan bahwa pengembangan gagasan dalam disertasinya membutuhkan tahapan panjang sebelum dapat diterapkan secara global. Mulai dari penyusunan tulisan akademik lanjutan hingga advokasi menuju kebijakan internasional.

“Pengembangannya memang harus melalui beberapa tahap, tidak hanya berhenti pada ujian disertasi. Harapan saya, negara-negara semakin sadar pentingnya bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil dan tidak lagi menghalangi distribusinya,” ungkapnya.
Ia berharap temuannya dapat menjadi kontribusi berkelanjutan bagi pembaruan hukum humaniter internasional dan mendorong negara-negara untuk bersikap lebih humanis dalam menangani konflik.
Ujian terbuka ini menegaskan kapasitas akademik sang promovenda dan juga membuka ruang refleksi tentang urgensi membangun tata kelola kemanusiaan yang lebih jelas, tegas, dan konsisten. Dengan membawa kebaruan teoretis sekaligus menawarkan kerangka praktis, penelitian Elisabeth menjadi pengingat bahwa di balik kompleksitas konflik bersenjata, ada satu prinsip universal yang harus dijunjung: keselamatan manusia. Melalui komitmen akademik dan dukungan institusional, harapan akan hadirnya mekanisme bantuan kemanusiaan yang lebih adil dan efektif di kancah internasional semakin terbuka. (nid/tia)










