Kanal24, Malang – Dalam pusaran pemikiran hukum modern yang seringkali mengutip teori Barat, penting untuk kembali menelisik kontribusi pemikir bangsa dalam membentuk dasar-dasar konstitusionalisme Indonesia. Pemikiran tokoh nasional seperti Muhammad Yamin tentang judicial review belum banyak dikaji secara mendalam, padahal gagasannya memiliki posisi penting dalam sejarah ketatanegaraan. Berangkat dari urgensi tersebut, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar ujian terbuka disertasi Dr. Muhtar Said, S.H., M.H., yang menyoroti peran Yamin sebagai pionir judicial review dalam konteks hukum Indonesia.
Mengulik Gagasan Yamin dalam Konstitusionalisme Indonesia
Dalam paparannya, Muhtar Said menekankan bahwa Muhammad Yamin adalah salah satu pionir dalam gagasan judicial review yang sebenarnya telah muncul jauh sebelum teori Montesquieu dikenal luas.
Baca juga:
Siswa Wonoagung Belajar Emosi dan Wirausaha Bareng FISIP UB

“Saya ingin mengulik bahwa pencetus judicial review di Indonesia itu ternyata Muhammad Yamin, bukan berasal dari luar. Bahkan jauh sebelum model Montesquieu, konsep itu sudah ada di Indonesia,” jelas Dr. Muhtar Said, Promovendus ujian disertasi tersebut.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa fokus kajiannya diarahkan pada pemikiran tokoh-tokoh hukum Indonesia, termasuk almarhum dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jaim Hamidi, yang turut menjadi inspirasi. Ia berharap hasil penelitiannya dapat menjadi naskah kajian yang kelak berguna dalam penyusunan kebijakan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan judicial review.
Apresiasi Promotor atas Kedalaman dan Kebaruan Disertasi
Promotor disertasi, Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum, menyampaikan apresiasi tinggi atas kerja keras dan kesungguhan promovendus.
“Disertasi ini ditulis dengan mendalam, sungguh-sungguh, dan berlandaskan referensi yang memadai. Beliau melacak 18 buku karya Yamin dan lebih dari 8.000 artikel, menunjukkan keseriusan dan kapasitasnya. Kebaruan dalam tulisan ini sangat penting, karena jarang sekali di Fakultas Hukum ada penelitian mendalam terkait pemikiran Yamin,” ungkap Prof. Fadli.
Ia menambahkan bahwa tulisan Muhtar Said tidak hanya runut dan sistematis, tetapi juga konsepsional.
“Kemampuan beliau menyampaikan gagasan, baik secara tertulis maupun lisan, menjadi salah satu kelebihan. Banyak orang pintar menulis tetapi kesulitan berbicara, atau sebaliknya. Dr. Muhtar Said berhasil menyeimbangkan keduanya,” imbuhnya.
Menghidupkan Kembali Warisan Pemikiran Bangsa
Melalui disertasinya, Muhtar Said ingin mengajak para akademisi dan pembuat kebijakan untuk lebih menghargai pemikir bangsa sendiri.
“Harapan saya, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dapat berlandaskan pada kultur, kebudayaan, dan nilai-nilai bangsa. Yamin adalah salah satu cendekiawan Indonesia yang harus digunakan pemikirannya, jangan selalu mengutip dari luar,” tegas Muhtar.

Baca juga:
Disertasi FH UB Bahas Urgensi Pengawasan Peraturan Bupati Delegatif
Refleksi: Ilmu sebagai Jalan Panjang Pengabdian
Sidang terbuka ini bukan hanya menjadi pencapaian akademik pribadi, tetapi juga sebuah momentum untuk menegaskan pentingnya menggali dan memanfaatkan kekayaan pemikiran hukum Indonesia. Prof. Fadli menutup dengan pesan reflektif:
“Menjadi doktor bukanlah akhir, melainkan awal untuk terus belajar, meneliti, dan menuliskan gagasan. Belajar sepanjang hayat adalah kunci agar ilmu tetap hidup dan bermanfaat.”
Dengan lahirnya karya ilmiah ini, Fakultas Hukum UB meneguhkan perannya sebagai pusat pengembangan pemikiran hukum nasional yang berakar pada khazanah pemikiran bangsa. (nid/dht)