Kanal24. Malang – Status Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, yang telah berlangsung sejak 28 Agustus 1961, resmi berpindah ke Kota Nusantara pada 14 Agustus 2024. Kota Nusantara, yang menjadi pusat pemerintahan baru Indonesia, dibangun di Kalimantan dengan berbagai harapan besar. Namun, perpindahan ini juga memicu pro dan kontra di masyarakat, dengan isu-isu krusial seperti lingkungan, pemerataan, dan dampak sosial-ekonomi.
Untuk membahas hal tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya mengadakan diskusi bertajuk “Diskusi Nusantara Baru” dengan tema Transformasi Ibu Kota Baru. Acara yang berlangsung pada Senin (18/11/2024) di Aula Nuswantara FISIP UB ini menghadirkan para pakar dari berbagai bidang.
Beberapa pembicara yang hadir di antaranya Tri Dewi Virgiyanti, ST., MEM (Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Bappenas RI), Dr. Tri Mulyani Sunarharum (Tim Ahli Transisi Otorita IKN 2022), Andrinof A. Chaniago (Penulis buku 9 Alasan dan 8 Harapan Memindahkan Ibu Kota), Dimas Wisnu Adrianto, PhD (Peneliti dan Dosen PWK UB), serta Dr. Ahmad Imron Rozuli (Wakil Dekan II FISIP UB).
Acara dibuka dengan sambutan dari Prof. Anang Sujoko, S.Sos., M.Si., D.COMM, Dekan FISIP UB, yang menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya diskusi ini. Ia menyebut diskusi semacam ini penting untuk memberikan kontribusi pemikiran kritis terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
“Ini adalah langkah positif untuk menyatukan pemikiran kritis dari berbagai pihak, terutama akademisi, dalam memberikan masukan yang konstruktif bagi pembangunan IKN. Sebagai simbol negara, pembangunan IKN perlu dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga mampu melayani kebutuhan publik dengan baik,” ungkap Prof. Anang.
Lebih lanjut, ia menyoroti dampak lingkungan dari pembangunan IKN, terutama terkait deforestasi di Kalimantan. “Pengurangan populasi hutan akibat pembangunan harus dibicarakan secara serius. Kita perlu memastikan dampaknya diminimalkan dan merancang langkah mitigasi yang efektif,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Andrinof A. Chaniago menjelaskan alasan mendasar perpindahan ibu kota. “Keputusan pemindahan ini telah melalui kajian yang sangat lengkap. Salah satu alasannya adalah untuk menata ulang Jakarta, yang telah menjadi episentrum ekonomi Indonesia,” ungkapnya.
Andrinof menambahkan, Pulau Jawa yang subur sangat vital untuk ketahanan pangan nasional, tetapi beban penduduk yang terus meningkat menjadi tantangan besar.“Kalimantan memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan ibu kota baru. Kawasan ini dipilih di atas lahan yang tidak cocok untuk pertanian, tetapi sangat ideal untuk membangun kota baru sekaligus kawasan industri,” tambahnya.
Andrinof menyebutkan bahwa pemindahan ibu kota tidak hanya membawa dampak positif bagi Jakarta, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan. Dengan adanya ibu kota baru, diharapkan terjadi pemerataan penduduk, distribusi pusat ekonomi, dan peningkatan infrastruktur di luar Jawa.
Meski optimis, Andrinof menekankan pentingnya peran akademisi dalam mengawal keberlanjutan pembangunan IKN. “Kita harus menjaga pandangan objektif dan melawan narasi-narasi yang tidak berbasis fakta. Pembangunan ini harus terus dipantau agar membawa manfaat nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tegasnya. (fan)