Kanal24, Malang – Diabetes melitus tipe 2 masih menjadi tantangan serius dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah fenomena clinical inertia, yakni kondisi di mana terapi medis tidak ditingkatkan meskipun pasien menunjukkan indikasi kebutuhan pengobatan lanjutan. Menyoroti problem ini, dalam sidang terbuka Program Doktoral Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) Dr. dr. Kurnia Widyaningrum, MMRS, pada Jumat (25/07/2025), memaparkan disertasinya berjudul “Faktor Determinan Clinical Inertia Diabetes Melitus Tipe 2 dan Pengaruhnya Terhadap Outcome Klinis Pasien di Rumah Sakit di Kota Malang.”
Penelitian ini menyoroti fenomena clinical inertia, yaitu kondisi di mana terapi pasien diabetes melitus tipe 2 tidak berkembang sesuai kebutuhan meski sudah ada indikasi medis yang jelas. Fenomena ini, menurut penelitian, menjadi salah satu penghambat keberhasilan penanganan diabetes di Indonesia.
Baca juga:
Disertasi FK UB Tawarkan Terobosan Terapi Intensif Pasien Sepsis

Kompleksitas Penanganan Diabetes
Dalam sambutannya, promotor sekaligus Guru Besar FKUB, Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, Sp.PD-KEMD, menegaskan bahwa diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis dengan tantangan manajemen yang sangat kompleks.
“Penyakit diabetes itu tidak gampang ditangani. Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan manajemen pasien, dan biaya kesehatannya pun tidak murah. Disertasi ini memberi gambaran betapa kompleksnya masalah diabetes untuk kita pecahkan. Hasilnya memberi harapan baru, karena dengan mengidentifikasi faktor determinan, kita bisa mengetahui apa yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Ia menambahkan, temuan dari penelitian ini berpotensi menjadi dasar akademik dalam penyusunan kebijakan kesehatan nasional. “Ke depan, penelitian ini dapat menghasilkan naskah akademik yang akan memandu langkah-langkah strategis dalam memperbaiki manajemen diabetes di tingkat nasional,” lanjut Prof. Rudijanto.
Tiga Faktor Utama dan Dua Temuan Baru
Dalam pemaparannya, Dr. dr. Kurnia Widyaningrum menjelaskan bahwa penelitian ini menemukan tiga faktor utama yang berpengaruh terhadap clinical inertia, yakni faktor dokter, faktor pasien, dan faktor sistem pelayanan kesehatan. Namun, penelitian juga mengungkap dua faktor baru yang sebelumnya jarang disorot.
“Selain faktor utama, kami menemukan adanya pengaruh signifikan dari regulasi BPJS dan faktor sosial budaya. Regulasi BPJS kerap memberikan batasan terkait obat maupun pemeriksaan laboratorium. Sementara itu, dari sisi masyarakat, masih ada kepercayaan kuat pada obat herbal dan rendahnya literasi kesehatan terkait diabetes,” jelas Kurnia.
Menurutnya, regulasi dan kondisi sosial budaya ini berperan besar dalam menghambat tercapainya tujuan terapi. “Ketika masyarakat sudah lebih melek kesehatan dan regulasi diperbaiki, maka kendali terhadap diabetes bisa jauh lebih baik,” tambahnya.

Riset FK UB Teliti Efek Kolkisin melalui Jalur Piroptosis
Harapan Perubahan di Tingkat Nasional
Lebih lanjut, Kurnia berharap hasil penelitiannya dapat dijadikan rujukan bagi Kementerian Kesehatan untuk mengevaluasi kebijakan pelayanan diabetes. “Regulasi terbukti sangat berpengaruh terhadap kebijakan rumah sakit. Pemerintah bisa menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan evaluasi agar pelayanan lebih berorientasi pada kesembuhan pasien, bukan sekadar efisiensi biaya,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa tujuan utama dari pelayanan kesehatan bukanlah penghematan semata, melainkan memastikan pasien mencapai kondisi sehat. “Rumah sakit seharusnya tidak hanya fokus pada irit-iritan biaya, tetapi memastikan pasien benar-benar mendapatkan hasil terapi yang optimal,” pungkasnya.Disertasi Dr. Kurnia Widyaningrum menjadi cermin penting bagi dunia kedokteran Indonesia dalam menghadapi tantangan manajemen diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini tidak hanya membuka tabir kompleksitas clinical inertia, tetapi juga memberi rekomendasi nyata yang dapat memperkuat kebijakan kesehatan. Harapannya, hasil riset ini menjadi pijakan dalam merumuskan strategi nasional yang lebih berpihak pada pasien, sehingga pengelolaan diabetes di Indonesia mampu menghadirkan harapan baru bagi jutaan penderita. (nid/dpa)