Kanal24, Malang – Pandemi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang melanda industri peternakan sempat memukul banyak peternak di Indonesia. Namun, bagi Donny Tri Ardiansyah, pemilik Zoomers Dairy Farm, krisis itu justru menjadi titik balik untuk membangun usaha peternakan modern berbasis inovasi dan kolaborasi.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Seminar Nasional Strategi Hilirisasi Sapi Menuju Kemandirian Susu Nasional yang digelar Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) dalam rangkaian Pesta Kandang 2025.
Donny menceritakan awal mula usahanya berdiri dari keprihatinan. Ketika PMK menyerang, sekitar 25 ekor sapi di kandang keluarganya mati. Sempat enggan meneruskan usaha orang tuanya, Donny akhirnya tergerak setelah melihat perjuangan ayahnya yang telah lama berkecimpung di dunia peternakan. Dari situlah muncul tekad untuk melanjutkan, sekaligus memperbarui sistem yang ada dengan pendekatan baru.
“Saya ingin peternakan tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang dengan ilmu, inovasi, dan kolaborasi. Dari situlah lahir Zoomers Dairy Farm,” tutur alumni Fapet UB ini.
Zoomers Dairy Farm kini menjadi contoh peternakan muda yang menggabungkan manajemen modern dan semangat kewirausahaan. Donny membangun koperasi kecil penampung susu agar harga jual lebih bersahabat bagi peternak lokal. Dengan menyalurkan hasil produksi langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS), peternaknya memperoleh selisih harga yang lebih menguntungkan dibanding menjual melalui tengkulak.
Tak berhenti di situ, ia juga tengah mengembangkan rumah produksi susu pasteurisasi serta menjajaki kerja sama dengan akademisi untuk meningkatkan daya tahan produk. Dalam dua tahun ke depan, Donny menargetkan terbentuknya edu farm atau peternakan edukatif, yang memungkinkan masyarakat dan pelajar memahami genetika, reproduksi, dan manajemen sapi secara langsung.
Sebagai peternak muda kelahiran 2000, Donny ingin membuktikan bahwa generasi Z juga mampu berinovasi di sektor yang selama ini dianggap tradisional. Salah satu terobosan teknis yang ia jalankan ialah program sinkronisasi estrus — penyuntikan hormon untuk mengatur siklus birahi sapi agar lebih teratur. Program ini meningkatkan produktivitas dan mempercepat masa reproduksi dengan tingkat keberhasilan hingga 90 persen di kandangnya.
Meski begitu, ia mengakui inovasi di tingkat peternak rakyat tidak mudah diterapkan. Banyak yang masih ragu karena faktor biaya dan keterbatasan pengetahuan. Donny memilih pendekatan edukatif dengan mengajak peternak menabung sebagian hasil penjualan susu untuk biaya hormon atau program peningkatan produktivitas lainnya.
Menurutnya, tantangan lain datang dari regulasi dan perizinan. Proses mendapatkan izin edar produk dari BPOM masih memakan waktu panjang dan birokrasi yang berbelit. Ia berharap pemerintah memberi perhatian lebih pada pelaku usaha kecil di sektor susu.
“Peternak muda butuh dukungan, bukan hanya dari sisi modal tapi juga regulasi yang memudahkan. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” pungkasnya.
Melalui Zoomers Dairy Farm, Donny ingin menunjukkan bahwa kemandirian susu nasional bisa dimulai dari langkah-langkah kecil — dari kandang sederhana, ide yang berani, dan kemauan untuk terus belajar.(Din)