Kanal24, Malaysia – Sejak 2007, Gaza berada di bawah blokade maritim dan darat Israel yang memicu krisis kemanusiaan parah, membatasi akses pangan, obat, dan bantuan medis. Situasi ini mendorong lahirnya gerakan internasional 1000 Watermelon Flotilla yang bertujuan mengirim armada kapal kemanusiaan untuk menembus pengepungan ilegal tersebut.
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB), Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., menjadi salah satu dari 60 peserta dari berbagai negara yang hadir dalam International Working Meeting 1000 Watermelon Flotilla di Shah Alam, Selangor, Malaysia, pada 8–10 Agustus 2025.
Baca juga:
Sosialisasi 3R dan Pelatihan Ecobrick Tingkatkan Kesadaran Lingkungan

Pertemuan strategis ini membahas pembentukan armada internasional guna menembus blokade maritim ilegal Israel atas Gaza serta mengirimkan bantuan kemanusiaan langsung kepada rakyat Palestina. Forum ini diikuti perwakilan pemerintah, aktivis, akademisi, praktisi, dan profesional dari lebih dari 50 negara yang bersatu dalam misi global mengakhiri pengepungan Gaza melalui aksi damai lintas bangsa.
Rencana 1000 Kapal Menuju Gaza
Dalam forum tersebut, para peserta menyepakati rencana peluncuran armada 1.000 kapal yang akan berangkat dari berbagai pelabuhan dunia. Armada tersebut direncanakan bertemu di Mediterania Timur dan berlayar bersama menuju Gaza sebagai bentuk tekanan internasional terhadap Israel sekaligus seruan global untuk membuka akses kemanusiaan.
Abdullah menyebut forum ini sebagai momen bersejarah sekaligus konsolidasi gerakan kemanusiaan transnasional.
“Ini adalah bagian dari solidaritas rakyat dunia, gerakan massa dan negara-negara berkembang yang bersatu melawan impunitas rezim Zionis,” ujarnya.
Peran UB dalam Isu Kemanusiaan Global
Menurut Abdullah, keterlibatan UB dalam forum internasional ini menunjukkan komitmen perguruan tinggi dalam merespons isu kemanusiaan global serta memperkuat kajian hubungan internasional, khususnya pada aspek hak asasi manusia internasional.
“Ini bukan hanya advokasi, tetapi juga mobilisasi hati nurani dunia untuk menghentikan penjajahan di abad modern,” tegasnya.
Abdullah menambahkan, pemerintah Indonesia seharusnya mengambil langkah yang lebih tegas, tidak hanya di meja diplomasi, tetapi juga melalui solidaritas antar masyarakat (people-to-people solidarity). Ia menilai energi masyarakat sipil Indonesia sudah terlihat dari masifnya penggalangan dana, kampanye edukasi publik, advokasi media, hingga gerakan boikot terhadap produk yang menopang rezim apartheid Israel.

Baca juga:
Pakar HI UB: Konflik Iran-Israel Ancam Ekonomi dan Stabilitas RI
Gaza, Ujian Moral Dunia
Abdullah menekankan bahwa genosida di Gaza adalah ujian moral bagi bangsa Indonesia dan dunia. “Diam berarti membiarkan normalisasi kebiadaban. Bangsa Indonesia, dengan sejarah perjuangan melawan penjajahan, seharusnya menjadi garda depan memastikan suara untuk Palestina tidak akan padam hingga kemerdekaan penuh terwujud,” katanya.
Ia berharap, gerakan transnasional seperti 1000 Watermelon Flotilla dapat menjadi ikhtiar nyata untuk mematahkan blokade Gaza dan mendorong kemerdekaan Palestina sepenuhnya. Mengutip Ali bin Abi Thalib, Abdullah menegaskan bahwa “kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”, sehingga pertemuan ini menjadi langkah penting untuk mengorganisir kebaikan demi kemanusiaan dan kemerdekaan Palestina. (nid)