Kanal24, Malang – Meningkatnya ketegangan pascagencatan senjata dan belum meredanya pelanggaran hak asasi manusia di Palestina menjadi alasan utama digelarnya Focus Group Discussion (FGD) bertema “Konflik Israel–Palestina Pasca Pengakuan Internasional atas Kemerdekaan Palestina”. Situasi yang semakin kompleks setelah deklarasi gencatan senjata New York pada Oktober 2025 mendorong UB–Palestine Solidarity menghadirkan forum akademik ini sebagai ruang analisis kritis dan pembentukan opini publik. Kegiatan tersebut berlangsung pada Rabu (10/12/2025) di Ruang Sidang 1 Gedung A Lantai 6 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Dalam diskusi ini, Abdullah S.Sos., M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional FISIP UB sekaligus pemateri, memberikan pemaparan mengenai kondisi kemanusiaan dan politik di Gaza serta tantangan implementasi hak asasi manusia pascagencatan senjata.
Baca juga:
Pemberantasan Korupsi Lesu di Tahun Politik
Blokade dan Krisis: Realitas Pasca Pengakuan Internasional
Abdullah menjelaskan bahwa meskipun pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Palestina menjadi momentum penting, realitas di lapangan masih jauh dari stabil. “Situasi pasca pengakuan internasional jauh dari kata stabil. Palestina masih menghadapi blokade, kehancuran infrastruktur, dan krisis kemanusiaan berkepanjangan,” ungkapnya.
Menurutnya, deklarasi gencatan senjata New York pada Oktober 2025 tidak berjalan sebagaimana mestinya. Israel, yang dianggap terus melakukan aksi pelanggaran, tercatat telah melanggar lebih dari 500 kesepakatan gencatan senjata. Pelanggaran tersebut mencakup penghancuran gereja, masjid, hingga pembunuhan warga sipil yang tidak berdosa. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan ketulusan gencatan senjata tersebut.
Politik Pasca-Gencatan Senjata dan Kendala Implementasi HAM
Dalam paparannya, Abdullah menekankan bahwa dinamika politik pascagencatan senjata justru semakin kompleks. Ia mempertanyakan apakah kesepakatan tersebut hanya menjadi strategi politik Israel untuk mempertahankan pendudukan ilegalnya.
“Gencatan senjata ini pada kenyataannya tidak berjalan sesuai kesepakatan bersama. Zionis Israel masih terus melakukan pelanggaran, sehingga patut dipertanyakan apakah kesepakatan gencatan senjata hanyalah siasat politik untuk melanggengkan pendudukan,” jelasnya.
Abdullah menilai persoalan hak asasi manusia semakin tergerus akibat ketidakpatuhan Israel terhadap hukum internasional. Faktor ini diperparah oleh dukungan kuat dari Amerika Serikat, yang membuat tekanan diplomatik di tingkat pemerintahan menjadi kurang efektif.
Diplomasi Pemerintah Tidak Cukup, Peran Masyarakat Sipil Menguat
Dalam konteks diplomasi, Abdullah membedakan dua pendekatan penting: diplomasi antar pemerintahan (government-to-government) dan diplomasi kemanusiaan oleh masyarakat sipil global. Upaya diplomasi formal melalui organisasi internasional seperti PBB, menurutnya, telah dilakukan tetapi belum menghasilkan perubahan signifikan.
Karena itu, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. “Diplomasi kemanusiaan Global oleh komunitas seperti universitas, organisasi kemanusiaan, aktivis, dan kelompok solidaritas harus diperkuat. Narasi dukungan terhadap kemerdekaan Palestina harus disebarkan melalui forum ilmiah, media, aksi jalanan, maupun boikot ekonomi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penguatan narasi global dibutuhkan untuk melemahkan legitimasi Israel baik secara ekonomi maupun di ranah pengetahuan. Kampanye solidaritas, kata Abdullah, dapat menjadi tekanan moral dan sosial yang signifikan untuk mempercepat pemulihan hak-hak bangsa Palestina.
Menguatnya Pengakuan Internasional dan Momentum Tekanan Global
Abdullah menyoroti meningkatnya dukungan negara-negara dunia terhadap Palestina, termasuk dalam Sidang Majelis Umum PBB pada September lalu. Lebih dari 20 negara Eropa telah secara resmi mengakui Palestina dalam beberapa bulan terakhir, sebuah perkembangan yang menandai penurunan opini publik terhadap Israel.
“Secara global, Israel mengalami resistensi dari opini publik internasional. Ini momentum penting untuk terus memojokkan Israel melalui pengakuan negara-negara yang belum mendukung Palestina dan lewat kampanye masyarakat sipil,” jelasnya.
Ia berharap forum-forum akademik seperti FGD ini dapat menguatkan pemahaman publik bahwa Palestina masih berada dalam kondisi penjajahan. Selain itu, wilayah Palestina yang semakin menyempit dan tindakan genosida yang dilakukan Israel perlu terus disuarakan agar tekanan terhadap Israel semakin kuat.
Harapan dan Rekomendasi untuk Indonesia
Di akhir sesi, Abdullah menyampaikan harapannya terhadap peran Indonesia. Ia menekankan bahwa opini publik yang lebih kuat akan mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis di tingkat internasional.
“Harapannya, dengan forum seperti ini kita bisa memberikan masukan kepada pemerintah. Opini publik yang kuat tentang kondisi Palestina akan menjadi dasar bagi Indonesia untuk memperkuat posisi diplomatiknya,” tutupnya.
Diskusi ini menjadi salah satu upaya nyata akademisi dan masyarakat sipil untuk terus menjaga semangat solidaritas dan menagih keadilan bagi rakyat Palestina di tengah dinamika politik global yang terus berubah. (nid/dht)









