Kanal24, Malang – Fenomena hambatan tak kasat mata atau glass ceiling kembali menjadi topik yang relevan di era kepemimpinan modern, terutama ketika keterlibatan perempuan di berbagai lini semakin kuat. Dalam konteks ini, Fatimatuz Zahrah, M.Pd., dari Universitas Pendidikan Ganesha, memaparkan analisisnya mengenai dinamika kepemimpinan perempuan masa kini. Materi ini disampaikannya dalam sesi pemakalah pada Seminar Nasional Wilwatikta Acarita 2025, yang digelar di Aula Gedung A Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya pada Kamis (13/11/2025).
Melalui paparannya, Fatimatuz menekankan bahwa glass ceiling merupakan batas tak terlihat namun nyata, yang selama bertahun-tahun membatasi ruang gerak perempuan untuk mencapai posisi strategis. Namun, ia menyebut fenomena itu kini mulai terkikis berkat meningkatnya kesadaran publik terhadap kesetaraan gender.
Baca juga:
Persiapkan Diri Menuju Dunia Kerja: Dian Eko Wicaksono Tekankan Pentingnya Hard Skill dan Soft Skill
Glass Ceiling dan Tantangan Sistemik Kepemimpinan Perempuan
Dalam pemaparannya, Fatimatuz menjelaskan bahwa glass ceiling tidak memiliki bentuk fisik, tetapi eksistensinya dapat dirasakan, terutama dalam dunia kerja dan kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa saat ini Indonesia telah memberi ruang lebih luas bagi perempuan untuk hadir dalam posisi strategis, misalnya melalui kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan di politik.
Namun demikian, hambatan struktural tetap ada. Fatimatuz menyoroti bahwa persoalan ini bersifat sistemik, berasal dari pola budaya yang telah terbentuk lama, termasuk budaya patriarki dan bias sosial yang memengaruhi kesempatan perempuan. Menurutnya, hambatan terbesar justru muncul di tingkat menengah — bukan pada level pemula atau puncak — di mana perempuan sering kali menemui stagnasi karier.
Meski demikian, ia menilai situasi tersebut perlahan membaik. “Sekarang sudah banyak inisiatif untuk membuka ruang yang sama. Bukan soal siapa yang lebih baik, laki-laki atau perempuan, tetapi bagaimana keduanya bisa berkolaborasi,” ujarnya.
Kolaborasi sebagai Kunci Menguatkan Kepemimpinan Perempuan
Fatimatuz menyatakan bahwa diskursus mengenai kepemimpinan perempuan tidak boleh diarahkan pada kompetisi gender, tetapi pada penciptaan ruang kolaboratif. Kepemimpinan modern, menurutnya, justru menuntut keberagaman perspektif dan kerja sama lintas gender.
Ia juga menjelaskan bahwa kepercayaan diri menjadi faktor penting bagi perempuan untuk menembus batas-batas yang menghambat pencapaian karier. “Langkah pertama adalah percaya pada diri sendiri. Jika tertarik pada satu bidang, maka kejar pendidikan dan kompetensinya,” katanya dalam sesi seminar.
Selain faktor personal, ia menegaskan pentingnya dukungan kolektif, baik dari keluarga, institusi pendidikan, hingga lingkungan kerja. Ekosistem yang suportif akan mempercepat tumbuhnya pemimpin perempuan dengan kemampuan kompetitif.
Belajar dari Tokoh Perempuan Majapahit
Salah satu poin menarik dalam materi Fatimatuz adalah penguatan peran perempuan melalui pendekatan historis. Ia mencontohkan sosok Ratu Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit, yang dinilainya sebagai figur pemimpin perempuan visioner yang mampu membawa kejayaan kerajaan.
Dengan menganalisis kepemimpinan tokoh tersebut, Fatimatuz berharap generasi masa kini dapat memetik nilai kepemimpinan yang relevan untuk konteks Indonesia modern, seperti keberanian mengambil keputusan, visi jangka panjang, serta kemampuan merangkul keberagaman.
Menurutnya, sejarah tidak hanya menyimpan fakta masa lalu, tetapi juga panduan nilai bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, ia mendorong mahasiswa dan generasi muda untuk mengkaji ulang narasi sejarah Majapahit guna menemukan inspirasi kepemimpinan yang autentik.
Relevansi Kesetaraan Gender dalam Konteks Modern
Seminar Nasional Wilwatikta Acarita 2025 tidak hanya menjadi ruang akademik untuk membahas Majapahit dan khazanah budaya Nusantara, tetapi juga refleksi terhadap perkembangan sosial saat ini. Melalui topik glass ceiling, seminar ini menunjukkan bahwa isu kesetaraan gender memiliki fondasi kuat dalam sejarah dan tetap relevan di masa kini.
Fatimatuz menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa perubahan tidak bisa terjadi hanya melalui satu pihak. Upaya kolektif antara perempuan, laki-laki, keluarga, institusi, hingga masyarakat luas harus berjalan beriringan untuk membangun lingkungan yang adil dan setara.
“Indonesia sudah memiliki banyak contoh pemimpin perempuan hebat sejak masa lampau. Tugas kita adalah meneruskan nilai-nilai itu dan menerapkannya dalam kehidupan modern,” ujarnya. (nid/ptr)










