Kanal24, Malang – Indonesia diprediksi menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan dana haji pada tahun 2027. Pasalnya, pada tahun tersebut akan terjadi dua kali musim haji dalam satu tahun kalender Masehi. Hal ini berpotensi menyebabkan lonjakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hingga mencapai Rp 42 triliun.
Peneliti Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Handi Risza, menjelaskan bahwa lonjakan ini tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga pada keberlanjutan pengelolaan dana haji ke depan. Bila tidak diantisipasi sejak dini, dana kelolaan yang saat ini mencapai Rp 170 triliun bisa menyusut drastis menjadi Rp 128 triliun.
Baca juga:
Ekonomi Lesu, Prof. Andy Fefta: Pemerintah Perlu Optimalisasi Kebijakan
“Jumlah calon jemaah yang masih menunggu saat ini mencapai 5,4 juta orang. Di sisi lain, future liabilities atau kewajiban di masa depan diperkirakan menembus angka Rp 504 triliun. Ini merupakan tantangan besar bagi pengelolaan keuangan haji kita,” tegas Handi dalam keterangan tertulis pada Sabtu (21/6/2025).
Urgensi Reformasi Pengelolaan Dana Haji
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, menyebut pengelolaan dana haji di Indonesia memiliki urgensi yang sangat tinggi, terutama karena sistem pembiayaan saat ini menutup kesenjangan antara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah dan total biaya BPIH.
“Sebagian besar pembiayaan disubsidi dari hasil investasi dana kelolaan. Maka dari itu, jika dana menipis, beban fiskal akan meningkat signifikan,” ujar Nur Hidayah. Ia menekankan pentingnya penguatan kerangka regulasi dan strategi investasi yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2023 terjadi peningkatan aset dari hasil investasi pada surat berharga dan pembiayaan bagi hasil. Namun, ironisnya, proporsi investasi justru menurun sebesar 20,09 persen. Meski begitu, muncul tren positif baru dari diversifikasi investasi ke instrumen emas, yang mampu memberikan keuntungan sebesar 12 persen atau setara Rp 48 juta.
Belajar dari Malaysia
Indonesia juga disarankan meniru strategi pengelolaan dana haji dari Malaysia, yang dinilai sudah jauh lebih matang. Malaysia menggunakan kerangka alokasi aset strategis, dengan komposisi pendapatan lembaga hajinya didominasi efek berpendapatan tetap.
“Malaysia sudah menerapkan sistem subsidi berdasarkan klasifikasi ekonomi sejak 2022. B40 (kelas bawah) tetap disubsidi, tapi M40 (menengah) dan T20 (kelas atas) mendapat perlakuan berbeda. T20 bahkan tidak disubsidi sama sekali. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia,” ujar Nur Hidayah.
Rekomendasi Strategis INDEF
Untuk memperkuat ketahanan dana haji di tengah ancaman pembengkakan biaya, INDEF merekomendasikan sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah diversifikasi instrumen investasi, khususnya memperluas portofolio emas melalui bullion bank atau investasi langsung di sektor luar negeri.
Selain itu, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji. Tujuannya adalah untuk memperkuat kewenangan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), memperbaiki koordinasi lintas lembaga, serta memungkinkan penggunaan multi-currency (mata uang ganda) dalam proses pengelolaan.
Baca juga:
Percepatan Belanja APBN: Optimisme di Tengah Tantangan
Tak kalah penting, opsi penambahan emas sebagai bentuk setoran awal biaya haji juga mulai dilirik. Hal ini dinilai sejalan dengan prinsip Maqashid Syariah, yang menekankan perlindungan atas harta, jiwa, serta keberlanjutan sosial-fiskal.
“Prinsip Maqashid Syariah harus menjadi dasar utama pengelolaan keuangan haji di Indonesia. Transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan menjadi pilar penting dalam menjaga amanah ini,” tutup Nur Hidayah.
Dengan adanya tantangan besar di depan, khususnya dua musim haji dalam satu tahun pada 2027, pemerintah bersama BPKH diharapkan bisa segera melakukan reformasi kebijakan pengelolaan dana haji. Langkah ini penting agar ibadah haji tetap bisa berjalan dengan baik, tanpa membebani keuangan negara maupun jemaah di masa depan. (nid)