Islam adalah agama kasih sayang dan sangat manganjurkan perilaku kasih sayang pada ummatnya. Hal ini tampak dari banyak ajaran dan nilai yang diajarkan baik dalam dokumen resmi sumber wahyu maupun hikmatut tasyri’ dari banyak amal ibadah yang ada dalam islam. Bahkan nama Islam itu sendiri berasal dari kata Salima yang artinya selamat yaitu satu agama yang mengajarkan keselamatan kata Salima merupakan kata dasar pula dari kata salam sebagaimana yang dipahami bahwa amal ibadah utama yang menjadi pilar utama peribadatan Islam adalah salat yaitu aktivitas ibadah yang diawali oleh takbir diakhiri dengan salam tidaklah sempurna ibadah salat seseorang jika tidak diakhiri dengan salam hal ini memberikan satu pesan bahwa sekalipun seorang muslim telah melaksanakan banyak aktifitas ibadah ataupun juga gerakan Amal kebaikan namun jika tidak mampu menebarkan salam kesejahteraan bagi sesama maka Dianggap tidaklah sempurna keislamannya itu
Semangat Menebarkan Salam kesejahteraan tentu haruslah Bermula dari hati yang dipenuhi oleh perasaan cinta kasih sayang kepada sesama tidaklah mungkin seseorang yang memiliki rasa kebencian penuh Gelora balas dendam akan bersedia menebarkan bagi orang yang yang ada di sekitarnya demikian pula dalam banyak ajaran Islam lainnya yang mengajarkan tentang nilai-nilai kasih sayang dan kelemah-lembutan perhatikan Bagaimana Islam mengajarkan agar dalam setiap memulai aktivitas diawali dengan menyebut sifat kasih sayang yang dimiliki oleh Allah dengan ucapan Bismillahirohmanirohim yaitu dengan menyebut nama Allah yang memiliki sifat Maha Kasih Sayang, bahkan menjadi tidak bernilai ibadah apapun aktivitas seorang muslim jika tidak diawali dengan kalimat ini. Hal ini menandakan bahwa Islam melandaskan semua aktivitasnya dengan mendasarkan pada semangat kasih sayang atas sesama, sehingga menjadi tertolak semua tindakan dan amal perbuatan jika dapat menyebabkan orang lain tersakiti yang tidak pada haknya.
Demikian pula di dalam berbagai aktivitas amaliah lainnya, Islam selalu menyertakan berbagai amal-amal ibadah yang diawali dengan ritual kasih sayang. Perhatikan disaat seorang muslim akan merayakan hari rayanya, maka haruslah terlebih dahulu memulai dengan menebarkan kasih sayang pada sesama melalui semangat berbagi. Semisal membayar zakat sebelum hari raya idul fitri, atau berbagi hewan kurban setelah idul Adha. Semua hal ini adalah cara islam untuk menanamkan rasa kasih sayang bagi ummatnya agar terinternalisasi dan terimplementasi secara nyata. Bahkan dianggap tidak sempurna keimanan seorang muslim jika dia tidur sementara ada tetangganya yang hidup dalam kelaparan.
Sikap kasih sayang bermula dari hati yang hidup penuh kelembutan, karena dibangun oleh rasa keberislaman yang mendalam, sehingga melahirkan kelemahlembutan dalam bersikap, ketajaman berpikir, dan halusnya perasaan, sehingga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ajaran islam lebih bersentral pada hati sebagai pusat inti kemanusiaan. Islam memahami bahwa puncak dari seluruh aktifitas manusia adalah manakala hati mampu menemukan wujudnya berupa ketundukan, pengabdian dan pelayanan atau kebermanfaatan. Akal pikiran dipahami sebagai bagian integral dari hati. Sehingga pikiran yang sehat sejatinya adalah bertemunya antara rasionalitas berpikir dengan kedamaian perasaan yang bermuara pada hati sehingga jadilah hati nurani. Sehingga diri manusia bersedia tunduk patuh pada panggilan ilahi dan menghasilkan perasaan yang lembut dan tindakan yang akan membuat setiap orang merasa nyaman disaat berinteraksi dengannya. Itulah manusia yang sesungguhnya, yaitu manusia yang mampu memanusiakan manusia.
Sehingga jika terdapat suatu realitas seseorang bersikap brutal seperti tanpa rasa iba menyiksa orang lain, membunuh dengan tanpa perasaan bersalah, terlebih saat melakukannya seakan merasa bangga dan tidak bersalah dengan argumentasi sedang menjalankan tugas sebagai apapun profesinya (baik sebagai anggota suatu kesatuan pengamanan atau suatu kelompok komunitas) , maka hal tersebut sebenarnya adalah menjadi tanda bahwa diri seseorang telah jauh dari nilai kemanusiaan sejati. Mungkin fisiknya adalah manusia namun sejatinya dirinya “berhati” iblis atau syetan. Hal ini karena pusat inti kehidupan manusia adalah ada pada hatinya dan dari hati inilah lahir sikap dan tindakan. Karena tidak ada satupun argumentasi yang membenarkan suatu tindakan brutal sebagai bagian dari nilai kebaikan. Bahkan Islam mengajarkan bahwa dalam perang sekalipun tidak boleh bertindak brutal dengan menyiksa orang yang sudah menyatakan menyerah.
Suatu ketika Rasulullah amat marah terhadap seorang sahabat yang bertindak brutal dengan tetap membunuh musuhnya saat terjadi peperangan sementara mereka telah menyatakan penyerahan diri dengan mengucapkan keislamannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang peristiwa Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhuma yang telah membunuh seorang musuh saat perang padahal dirinya telah menyatakan menyerah dengan mengucapkan kalimat syahadat. Dalam riwayat usamah bin zaid bin Haritsah menceritakan :
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ قَالَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ قَالَ وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلًا مِنْهُمْ قَالَ فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيُّ فَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَالَ لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا قَالَ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
Dari Usamah bin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Rasulullah SAW mengutus kami dalam sebuah pasukan perang untuk menyerang orang-orang kafir Marga Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Kami menyerang mereka di waktu pagi dan kami mengalahkan mereka. Saya dan seorang sahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika kami mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ (Tiada Ilah Yang berhak disembah selain Allah). Sahabat Anshar itu pun menahan dirinya. Adapun saya menusuk orang tersebut dengan tombakku sampai saya menewaskannya.”
Usamah bin Zaid melanjutkan ceritanya, “Ketika kami tiba di Madinah, berita tersebut sampai kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadaku, ‘Wahai Usamah, apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah?’ Saya (Usamah) menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya sekedar untuk melindungi dirinya.”
Namun beliau SAW tetap bertanya, “Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah?”. Saya (Usamah) berkata, “Beliau SAW masih terus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan andai saja saya belum masuk Islam sebelum hari itu.”
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah SAW bertanya kepada Usamah bin Zaid:
أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ
“Apakah ia sudah mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah, namun engkau tetap saja membunuhnya?”
Maka Usamah bin Zaid menjawab:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنْ السِّلَاحِ
“Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya karena takut kepada senjata kami.” Namun Rasulullah SAW bersabda:
أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا
“Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah karena ikhlash ataukah karena alasan lainnya?”. Usamah berkata:
فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
“Beliau terus-menerus mengulang pertanyaan itu kepada saya sehingga saya berharap andai saja saya baru masuk Islam pada hari itu.” (HR. Bukhari: Kitab ad-diyat no. 6872 dan Muslim: Kitab al-iman no. 96)
Demikianlah Rasulullah saw, amatlah murka terhadap seseorang yang bersikap brutal dan aniaya terhadap seseorang yang telah menyatakan menyerah. Karena itu jika ada seseorang muslim yang bertindak brutal dengan terus menganiaya korban sementara korban telah menyerah, maka bagaimana dia kelak akan bertanggungjawab di hadapan Allah dan Rasulullah pada saat di hari Pembalasan..????.
Seorang muslim yang baik dengan apapun profesinya tentu akan lebih mendahulukan untuk tunduk pada ajaran agamanya daripada pada perintah atasan atau pimpinan yang melanggar dari aturan Allah swt. Karena kelak setiap orang akan bertanggungjawab di hadapan Allah swt atas apa yang diperbuatnya tanpa ada bantuan perlindungan (backing) dari orang lain termasuk atasan yang dulu memerintahkannya karena dia kelak juga sibuk bertanggungjawab di hadapan Allah swt atas setiap perbuatannya.
Kelemah lembutan dan kasih sayang hanyalah milik orang-orang beriman yang sungguh-sungguh dan benar dalam keimanannya. Sementara kekerasan sikap, kebrutalan tindakan adalah tanda tertutupnya hati oleh hawa nafsu yang dipenuhi bisikan iblis untuk menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan.
Semoga Allah swt selalu membimbing diri kita untuk terus berada di jalanNya, melembutkan hati kita dan meneguhnya keistiqomahan perjuangan serta mengampuni dosa kita serta kekerasan sikap dan keburukan akhlaq. Semoga Allah swt meridhoi kita. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar