Kanal24, Malang – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan tidak akan mencapai target semula. Permata Bank melalui lembaga riset ekonominya, Permata Institute for Economic Research (PIER), menyampaikan bahwa laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diprediksi hanya berada pada kisaran 4,5 hingga 5,0 persen. Angka ini lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 5,11 persen serta menandai perlambatan dari realisasi tahun 2024 yang tercatat sebesar 5,03 persen.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa proyeksi ini muncul akibat meningkatnya ketidakpastian global, khususnya yang dipicu oleh perang dagang antarnegara besar. Situasi ini membuat banyak pelaku usaha menunda rencana ekspansi dan investasi mereka.
Baca juga:
Kenali Resesi Ekonomi, Selamatkan Masa Depanmu
“Ketidakpastian perang dagang yang meningkat telah mendorong perusahaan untuk menunda investasi dan rencana ekspansi. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat merespons dengan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan stimulus yang tepat sasaran, agar konsumsi dan investasi domestik kembali bergerak,” jelas Josua dalam acara PIER Q1 2025 Economic and Media Gathering di kantor Permata Bank, Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Konsumsi dan Investasi Melemah
Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan PDB tercatat sebesar 4,87% year-on-year (YoY), lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,02%. Ini merupakan laju pertumbuhan terendah sejak kuartal ketiga tahun 2021.
Motor utama ekonomi Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga, juga melambat menjadi 4,89% YoY. Melemahnya daya beli masyarakat, khususnya pada sektor makanan & minuman serta transportasi & komunikasi, menjadi penyebab utama perlambatan ini.
Investasi dalam bentuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga mengalami penurunan cukup signifikan menjadi 2,12% YoY. Penurunan ini dipengaruhi oleh lesunya investasi pada sektor bangunan, struktur, serta mesin dan peralatan.
Selain itu, belanja pemerintah yang biasanya menjadi pendorong ekonomi mengalami kontraksi 1,38% YoY. Kontraksi ini terjadi setelah lonjakan sementara yang terjadi pada tahun 2024 karena pengaruh aktivitas Pemilu.
Ekspor Menguat, Tapi Tidak Cukup
Di sisi lain, ekspor barang dan jasa mengalami peningkatan, terutama dari sektor nonmigas. Namun demikian, peningkatan ekspor ini belum cukup untuk menutupi pelemahan pada sektor konsumsi dan investasi.
“Momentum ekspor cukup baik, terutama karena permintaan logam dasar yang kuat. Tapi kontribusi ekspor terhadap PDB nasional tetap terbatas jika konsumsi domestik tidak pulih,” tambah Josua.
Tinjauan Sektoral
Dari sisi sektoral, pertanian menjadi sektor yang paling bersinar dengan pertumbuhan mencapai 10,52% YoY, berkat lonjakan produksi tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sektor manufaktur, yang menjadi tulang punggung ekonomi, tumbuh stabil di angka 4,55%, didukung oleh permintaan ekspor industri logam dasar.
Sektor perdagangan ritel tumbuh 5,03% karena dorongan musiman dari bulan Ramadan, sementara sektor jasa tetap solid berkat peningkatan aktivitas pariwisata domestik. Namun, sektor pertambangan justru mengalami kontraksi karena aktivitas pemeliharaan di tambang emas dan tembaga, dan sektor konstruksi mengalami pelambatan akibat realokasi anggaran pemerintah.
Dampak Perang Dagang Global
Ketidakpastian global yang disebabkan oleh perang dagang juga diperkirakan akan terus memberi tekanan pada sejumlah sektor industri. Sektor-sektor yang bergantung pada pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat seperti tekstil, garmen, elektronik, furniture, dan produk karet, diproyeksikan akan terkena dampak paling signifikan.
Sebaliknya, sektor-sektor yang lebih berorientasi pada pasar domestik seperti jasa dan perdagangan masih diyakini akan menjadi motor utama pertumbuhan, meski kontribusinya mungkin belum cukup untuk membawa ekonomi tumbuh di atas 5 persen.
Baca juga:
Efisiensi Anggaran Bikin Ekonomi RI Melambat
Ruang untuk Pelonggaran Kebijakan
Dengan kecenderungan pertumbuhan yang melambat, Josua juga menyebutkan bahwa kondisi ini membuka peluang bagi pelonggaran kebijakan moneter. Jika ketidakpastian global menurun dan terdapat sinyal kuat penurunan suku bunga oleh The Fed, maka Bank Indonesia berpotensi memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini.
“Meningkatnya kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan yang tampak lesu dapat membuka ruang bagi pelonggaran moneter,” tutup Josua Pardede.
Secara keseluruhan, proyeksi ekonomi Indonesia tahun 2025 berada dalam bayang-bayang tantangan eksternal dan internal. Kunci pemulihan akan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dalam merespons gejolak global serta kemampuan menjaga daya beli dan mendorong investasi. Jika stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat dijalankan dengan tepat waktu, peluang menjaga stabilitas ekonomi nasional tetap terbuka lebar. (nid)