oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Dalam menjalankan proses interaksi, setiap orang akan menghadapi suatu realitas yang sesuai dengan harapan dirinya atau bahkan jauh dari harapan. Ibarat seseorang yang sedang menyusun sejumlah piring, sekalipun seseorang telah benar-benar berhati-hati dalam menyusunnya, tentu tetap akan mendapati bunyi saat sejumlah piring itu berada sekalipun pula tidak ada maksud untuk memperadukan keduanya. Konflik adalah hal wajar alamiah yang pasti terjadi dalam setiap interaksi yang dilakukan oleh manusia.
Islam hadir ke muka bumi untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia agar mereka mampu menjalani kehidupannya dengan damai sejahtera dengan cara yang sesuai fitrah kemanusiaan yaitu ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Islam menyerukan agar apabila ada salah satu diantara manusia sedang berselisih atau berkonflik, maka ummat ini harus mampu hadir sebagai solution maker, pihak yang mampu menjadi penyelesai masalah. Karena Islam adalah jalan Ishlah. Sebagaimana Firman Allah swt :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat : 9)
Pesan utama Firman Allah ini adalah jadilah washilah jalan damai. Menjadi pihak yang bertindak sebagai penyelesai masalah berarti seorang muslim haruslah memiliki kompetensi tertentu yang menjadikannya layak dianggap sebagai penyelesai masalah. Salah satu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang solution maker adalah kemampuan dirinya untuk mampu berdiri disemua kalangan agar dapat berlaku adil dengan menjadikan hukum Islam sebagai dasar utama pemutus suatu persoalan. Sebab suatu keadilan akan terwujud manakala hukum Islam dijadikan dasar pijakan dalam memutuskan seluruh persoalan manusia, karena hukum islam bukanlah berdasar hasil kreasi pikir dan filsafat manusia melainkan bersumber dari Sang Maha Pencipta Yang Maha Adil.
Dalam sebuah riwayat diceritakan dari Abdullah bin Zubair meriwayatkan, bahwa seorang laki-laki Anshar berselisih dengan Zubair berkenaan dengan saluran air di daerah Harrah, sebuah daerah yang dipenuhi batu-batu hitam di Madinah yang mereka gunakan untuk mengairi pohon-pohon kurma mereka. Mereka berdua menggunakan air itu untuk tanaman-tanaman mereka. Yaitu air mengaliri kebun Az-Zubair sebelum mengairi kebun orang Anshar tersebut. Az-Zubair membuat bendungan dan menahan air agar dia bisa mengairi kebunnya, lalu mengalirkannya ke kebun tetangganya. Orang Anshar itu menghendaki agar Az-Zubair membuat air mengalir lebih cepat ke kebunnya, tetapi Az-Zubair tidak mau.
Lalu mereka menghadap Rasulullah dan mengadukan masalah kepada beliau, dan beliau Rasulullah memutuskan, “Wahai Zubair, airi kebunmu, lalu biarkan air mengalir ke tetanggamu. Orang Anshar itu menyanggah keputusan Rasulullah
dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau membuat keputusan ini karena dia adalah anak bibimu? Mendengar jawaban tersebut, wajah beliau memerah. Lalu, beliau bersabda, “Airi kebunmu, Wahai Zaid, lalu tahan airnya sampai kamu mengairi kebunnmu sepenuhnya.” Zubair mengatakan, “Kurasa ayat berikut ini diturunkan sehubungan dengan kejadian itu:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ : 65)
Jadi, terdapat beberapa prinsip dasar penyelesaian masalah (manajemen konflik) dalam perspe
ktif Islam adalah: Prinsip pertama, utamakan jalan damai. Yaitu penyelesaian yang lebih mengedepankan pada keadilan dengan berpihak pada kebenaran dan mendorong jalan damai atas setiap pihak yang berselisih dengan jalan memaafkan. Sebagaimana diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bahwa penduduk Quba’ berselisih sampai mereka saling melempar batu. Rasulullah saw diberi tahu hal iyu dan beliau bersabda, “Mari kita damaikan mereka”. (HR. Bukhari. No. 2693)
Prinsip Kedua, sumber atau dasar utama panduan penyelesaian masalah, resolusi konflik dalam Islam adalah merujuk pada petunjuk Allah swt dalam alquran, termasuk pula hadist nabi dan selanjutnya adalah hasil kesepakatan para ulama Islam yang mendasarkan pada alquran dan sunnah nabi itu. Artinya Islam memberikan acuan bahwa sumber penyelesai masalah ummat manusia adalah Firman Allah swt yang diyakini telah sangat sempurna memberikan arahan dan petunjuk dalam mengatur hidup manusia. Dengan kata lain bahwa sumber panduan penyelesaian masalah dalam Islam bukan hasil kreasi pikir (filsafat) manusia belaka melainkan harus merujuk pada sumber hukum Islam yang manusia harus tunduk patuh dalam menerimanya tanpa keraguan sebagai konsekwensi atas deklarasi keimanan seorang muslim.
Prinsip ketiga, Menjadikan sumpah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian masalah. Namun Islam menekankan atas kebenaran sumpah dan menjauhkan diri dari perbuatan dusta dan kebohongan dalam bersumpah serta mengingatkan siapa saja agar takut kepada Allah dalam menyampaikan sumpahnya. Hal demikian ditegaskan oleh Allah swt :
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَشۡتَرُونَ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ وَأَيۡمَٰنِهِمۡ ثَمَنٗا قَلِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ لَا خَلَٰقَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ وَلَا يَنظُرُ إِلَيۡهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (QS. Ali ‘Imran : 77).
Prinsip keempat, Pihak yang berselisih haruslah mengajukan bukti dan mendasarkan pada pengakuan pihak yang berselisih. Sebagaimana Nabi pernah memutuskan kasus pembunuhan. Diriwayatkan dari Wa’il bin Hujr mengatakan: “Aku sedang duduk bersama Rasulullah ketika datang seseorang menggelandang orang dengan tali kekang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang ini membunuh saudaraku.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah kamu membunuhnya?’ Orang yang menyeret terdakwa itu berkata, “Jika dia tidak mengakuinya, saya akan membuktikan bahwa dia membunuhnya, dengan alat bukti.’ Lalu, terdakwa berkata, ‘Ya, saya membunuhnya.’ Rasulullah bertanya, Bagaimana kamu membunuhnya? Dia mengatakan, ‘Kami sedang mengumpulkan daun-daun dari sebatang pohon, lalu dia mencaci saya dan membuat saya marah. Lalu saya hantam kepalanya dengan kapak dan saya membunuhnya.’ Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu punya sesuatu untuk kamu berikan (sebagai diyat)?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak punya apa-apa selain pakaian dan kapak saya.’ (HR. Muslim.no. 1680).
Prinsip kelima, dalam proses penyelesaian konflik diupayakan dapat memuaskan kedua belah pihak yang berselisih sehingga keduanya saling ridha atas putusan yang diambil, yang dikenal dengan istilah an taraadin atau win win solution. Sebagaimana diriwayatkan tentang Dalam peristiwa Hudaibiyah, Nabi Muhammad membuat persetujuan dengan
penduduk Mekah, bahwa beliau akan memasuki Mekah pada tahun berikutnya selama tiga hari. Maka, pada tahun berikutnya beliau menunaikan umrah. Ketika beliau memasuki Mekah dan tinggal sesuai dengan waktu yang disepakati, penduduk Mekah menemui Ali dan mengatakan, “Katakan kepada temanmu untuk meninggalkan kami karena dia sudah tinggal selama waktu yang disepakati.” Kemudian, Rasulullah pergi dan diikuti oleh anak perempuan Hamzah yang memanggil-manggil, “Paman, paman !”
Ali bin Abi Thalib menyambutnya dan menggandeng tangan gadis kecil itu kemudian berkata kepada Fatimah, istrinya, “Bawalah anak pamanmu ini.” Ali mengatakan,”Ketika kami sampai di Madinah, aku, Ja’far dan Zaid berselisih tentang anak itu,”
Ali melanjutkan, “Pendapat Ja’far adalah, ‘Dia sepupuku, dan bibi dari garis ibunya adalah istriku.’ Maksudnya adalah Asma’ binti Umais. Zaid berkata, Dia sepupuku, dan aku mengatakan, ‘Akulah yang membawanya, dan dia sepupuku,dan aku menikahi putri Rasulullah dan dialah yang paling pantas merawatnya. Hasilnya, Rasulullah memutuskan bahwa dia diserahkan kepada bibi dari garisibunya, dan beliau bersabda, ‘Bibi dari garis ibu mempunyai status ibu.
Kemudian, beliau bersabda, “Mengenai dirimu, Wahai Ja’far, kamu paling mirip denganku dalam penampilan dan pembawaan; sedangkan kamu, Wahai Ali, kamu adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu, sedangkan kamu wahai Zaid, kamu budak yang dibebaskan, dan saudaraku.”
Demikianlah cara nabi dalam menyelesaikan masalah secara damai memuaskan kedua belah pihak sekalipun keputusan menguntungkan Ja’far namun dan ketiga pihak yang berselisih, Ali dan zaid tetap merasa dihargai sebab sikap dan ucapan nabi yang membahagiakan ketiganya.
Inilah berbagai prinsip dalam manajemen konflik dan penyelesaian masalah sdbagaimana yang telah dicontohkan Nabi yang agung, penghulu para nabi dan utusan, yang memiliki kecerdasan dan ketulusan serta pengayoman pada siapapun, sehingga mampu menjadi jalan kebaikan bagi semua. Inilah akhlaq nabi, itulah akhlaq alquran. Itulah implementasi paling sempurna dalam mempraktekkan kesempurnaan Alquran. Inilah wajah islam yang damai.
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar