KANAL24, Malang – Pembangunan negara diharapkan lebih konsisten, konvergen, menyatu dari tingkat pusat sampai ke daerah. Diungkapkan oleh Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad di acara Forum Group Discussion (FGD) Pedoman Haluan Negara sebagai Arahan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, senin (14/9/2020).
Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan menurut evaluasi yang ada terasa pembangunan tidak konvergen, seakan-akan ada divergen satu dengan yang lain. Terasa sulit Pemerintah pusat memberikan arahan-arahan supaya daerah melaksanakan. Hal ini tidak dapat dihindari karena setiap gubernur, bupati/walikota ketika maju menjadi calon kepala daerah menyampaikan visi dan misi, yang mana visi misi ini harus dilaksanakan ketika mereka terpilih.
Hal ini meminta agar di MPR kembali untuk membuat ketetapan. Tentunya ada beberapa mekanisme untuk mencapai kesana. MPR membuat ketetapan tetapi harus berdasarkan UU. UU ini menurut Fadel masih dicari agar haluan negara kedepan ini benar-benar konvergen, untuk itu MPR sebagai lembaga tinggi negara mempunyai ketetapan MPR dan ketetapan inilah yang menjadi pegangan dalam menyusun haluan negara kedepan.
“Kita menyusun haluan negara dengan materi yang lebih sederhana sehingga lebih bisa menjadi pegangan bagi calon kepala daerah dalam menyusun visi dan misi. Yang paling inti adalah kita ingin adanya inovasi dari pembangunan ini kedepan. Inovasi ini tentunya bisa dibuat oleh masing-masing pemda, tetapi kita harapkan konvergen kepada haluan negara. Haluan negara ini nanti lebih fokus kepada hal-hal yang menyangkut pembangunan ke depan, yaitu masalah pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah,” terang Fadel.
Pada kesempatan yang sama, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyambut baik upaya MPR mengenai kemungkinan disusunnya kembali haluan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurutnya, pasca amandemen UUD 1945, tidak ada haluan menyeluruh untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, UU yang ada lebih berciri sektor sehingga kurang mampu memberi haluan menyeluruh. Kekuatiran mengenai keberlanjutan pembangunan. Dengan tidak adanya haluan negara, perspektif pembangunan memendek dalam jangka waktu lima tahunan. Tidak ada jaminan bahwa suatu kebijakan penting jangka panjang satu pemerintahan akan dilanjutkan oleh pemerintahan baru.
RPJPN tidak disusun untuk menjadi haluan negara. Dengan tidak adanya lagi GBHN pasca amandemen UUD 1945, ada landasan yang hilang dalam sistem ketatanegaraan yang menjadi pedoman bagi rencana pembangunan lima tahunan (yang sekarang disebut RPJM). Penyusunan RPJPN lebih dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi visi misi presiden/wakil presiden serta penyusunan RPJM dalam periode 20 tahun.
Tiga perubahan besar pada era reformasi yakni globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi. Ketiga perubahan ini benar-benar perlu dipahami agar dapat disusun haluan negara dan RPJPN yang tepat. Terdapat perbedaan periodesasi antara pemikiran haluan negara (dulu GBHN 25 tahun) dengan RPJPN (20 tahun). Periodesasi RPJPN dalam UU No. 25 Tahun 2004 didasarkan pada siklus politik dan pembangunan yang berubah sebelum 20 tahun. Periodesasi yang terlalu lama akan mengakibatkan haluan negara yang disusun menjadi kurang tepat waktu. Direction yang lama masih berlaku untuk siklus politik dan pembangunan yang sudah berubah.
“Harapan adanya kembali haluan negara tinggi untuk dapat memecahkan berbagai masalah pembangunan antara lain berupa inkonsistensi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ketidaksinkronan regulasi, belum sinerginya sistem perencanaan, dsb. Benar apabila haluan negara tidak menempati posisi langsung di bawah UUD 1945, maka ia tidak akan terlalu efektif sebagai arah pembangunan negara. Ada baiknya apabila haluan negara ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari UU di bawah UUD 1945,” pungkas Suharso. (Meg)