KANAL24, Malang – Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan selama pandemi Covid-19. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Rer.pol Faishal Aminuddin, SS., M.Si pada Refleksi Akhir Tahun 2020 Pandemi dan Resesi, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) rabu (25/11/2020).
Menurut Faisal, sebenarnya sebelum pandemi pun sekitar 2-3 tahun terakhir Indonesia telah mengalami penurunan. Karena kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak didasari dengan argumentasi yang konsisten. Sehingga, masyarakat sendiri mengalami kebingungan melihat apa sebenarnya yang diinginkan oleh Pemerintah.
“Di satu sisi Pemerintah tegas, namun longgar di banyak sisi yang lain. Terutama dengan kritik terhadap mereka, yang bisa dilihat disikapi dengan sangat serius. Ini menjadi variabel penting yang membuat demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sangat drastis,” ujar Faisal.
Bahayanya ketika masyarakat sudah bisa “didisiplinkan” sementara Pemerintahan lebih otokratik, oligarki yang disekelilingnya semakin kuat bisa memaksimalkan aparat negara untuk terlibat atas nama penanganan pandemi. Ini yang kemudian membuat masyarakat bisa jadi lebih terbiasa, kemudian secara halus Pemerintahan sangat kuat menghasilkan rezim otokratik di kemudian hari. Indonesia akan sangat merugi karena demokrasi yang telah lama diperjuangkan harus mengalami kemunduran atau akan berubah ke rezim otokratik.
Pandemi ini bisa memperparah penurunan demokrasi karena alasan dari pemimpin politik atau penguasa untuk menjalankan langkah-langkah yang dianggap perlu dengan memanfaatkan instrumen negara. Ini rawan adanya sabotase, rawan adanya penyalahgunaan. Misalnya, kontrol penggunaan anggaran dalam pandemi ini, siapa yang bisa melakukannya. Kemudian apa urgensinya menurunkan TNI untuk memastikan adanya ketertiban umum. Sehingga, yang menjadi catatan penting adalah penggunaan instrumen atau alat negara atas nama untuk memastikan penanganan pandemi tetapi tidak bisa dikonsultasikan secara meluas. apa yang diinginkan oleh masyarakat.
“Dalam kasus ini yang perlu dilakukan adalah Pemerintah harus mengambil kebijakan dengan basis argumentasi yang jelas dan melibatkan kekompakan dari semua infrastrukturnya. Kalau sekarang berarti Jokowi dan kabinetnya serta semua lembaga negara. Kemudian lebih menekankan aspek dialog daripada penggunaan alat negara. Kalau masyarakat dihimbau dengan ketegasan dan sikap yang jelas dari Pemerintah, masyarakat akan menurutinya tetapi kalau ada ambivalensi dalam kebijakan yang diambil akhirnya masyarakat tidak memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemeintah,” pungkas dosen Ilmu Politik itu. (Meg)