Kanal24, Malang – Sebuah diskusi di Universitas Brawijaya (UB) pada (30/08/2024) digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dengan tajuk “Apakah Feminisme Merupakan Ancaman atau Solusi terhadap Kesetaraan Gender?” yang dikemas dalam Gema Dialektika.
Diskusi yang dihadiri oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan ini menghadirkan Aquarina Kharisma Sari, presiden Malang Women Writers’ Society sekaligus pegiat Lesbumi NU Kota Malang, dan Ruci Primaharani, Paralegal Pendamping Korban Kekerasan Women Crisis Centre Dian Mutiara Parahita, seorang akademisi feminis. Keduanya memberikan pandangan yang kontras dalam memahami konsep patriarki dan feminisme, mengundang perdebatan sengit di antara peserta diskusi.
Aquarina Kharisma Sari memulai argumennya dengan mengkritik keras paradigma feminis yang menurutnya telah membelokkan definisi “patriarki” jauh dari makna aslinya dalam antropologi. “Patriarki,” jelas Aquarina, berasal dari dua kata Yunani yang berarti “kepemimpinan ayah,” tetapi di tangan feminis, istilah ini mengalami perubahan makna menjadi sistem di mana laki-laki menindas perempuan.
Menurut Aquarina, perubahan definisi ini berpotensi menghalangi laki-laki untuk mendewasa dan menjadi sosok yang bertanggung jawab.
“Ketika laki-laki terus-menerus dipandang sebagai penindas, mereka bisa menjadi infantil, dan pada akhirnya malah terlibat dalam kekerasan dan perilaku negatif lainnya,” ujar Aquarina.
Di sisi lain, Ruci, yang tetap teguh pada paradigma feminis, menekankan bahwa patriarki memang telah menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin dan menempatkan mereka dalam posisi yang lemah.
“Patriarki adalah sistem yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua. Tanpa feminisme, perempuan tidak akan pernah meraih kesetaraan yang layak mereka dapatkan,” tegas Ruci, menantang pandangan Aquarina.
Moderator Acara yang merupakan mahasiswa sekaligus Duta Lingkungan Hidup FPIK UB, Lintang Gurat Jingga, memantik persoalan yang sangat sensitif, yakni aborsi. Aquarina mempertanyakan mengapa hak aborsi hanya diberikan kepada perempuan.
“Dalam kasus kehamilan pranikah, perempuan dikatakan memiliki hak untuk memutuskan aborsi. Namun, jika laki-laki yang menyarankan aborsi, mereka bisa dituntut dan dikriminalkan. Di mana letak keadilannya?” tanya Aquarina, mengundang kontroversi di antara peserta.
Pandangan audiens pun terbagi tajam. Seorang peserta yang mendukung feminisme menyatakan bahwa hak aborsi memang harus ada pada perempuan karena mereka yang mengandung dan melahirkan, meskipun laki-laki adalah ayah dari janin tersebut.
Namun, Bintang Pangaribuan, salah satu audiens yang menentang pandangan ini, menyatakan bahwa menyerahkan hak aborsi hanya kepada perempuan adalah tidak adil.
“Laki-laki juga memiliki nurani sebagai ayah dari keturunannya. Kenapa hak perempuan terus yang dibela, padahal janin juga memiliki hak asasi untuk hidup?” ungkap Bintang, memicu diskusi yang semakin intens.
Acara ini berlangsung sangat hidup dan penuh dengan argumen kritis dari kedua belah pihak. Jingga, sang moderator, menyampaikan apresiasinya terhadap diskusi ini.
“Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memantik kritisisme di kalangan mahasiswa. Diskusi yang menghadirkan narasumber dengan pandangan berseberangan perlu terus dihidupkan agar dapat memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang segar,” ujar Jingga menutup acara.
Diskusi yang diadakan oleh BEM FPIK UB ini membuktikan bahwa dialektika tentang feminisme dan patriarki masih menjadi topik yang relevan dan memerlukan ruang untuk dibahas secara terbuka. Dengan adanya kegiatan semacam ini, diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam menyikapi berbagai isu sosial, dan mampu merumuskan pandangan yang matang berdasarkan diskusi yang sehat dan berimbang. (nid/aqu)