Kanal24, Malang – Fenomena pekerja kantoran yang marah-marah di tempat kerja kerap dianggap sekadar “emosi sesaat”. Namun di balik itu, terdapat akar masalah serius yang berhubungan dengan beban kerja, sistem manajemen perusahaan, hingga relasi sosial di lingkungan kantor. Berbagai riset dan ilustrasi populer, bahkan film komedi legendaris Office Space (1999), menunjukkan bahwa amarah di kantor adalah fenomena global yang dialami banyak pekerja.
Representasi Amarah di Budaya Populer
Dalam Office Space, trio sekawan Peter, Michael, dan Samir melampiaskan kejengkelannya dengan menghancurkan mesin fotokopi kantor yang macet. Adegan ikonik itu menjadi simbol perlawanan pekerja terhadap sistem kerja yang menekan dan fasilitas kantor yang justru menambah stres. Film ini bukan sekadar hiburan, melainkan refleksi nyata atas penderitaan yang dirasakan jutaan pekerja kantoran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Adegan tersebut banyak dipuji kritikus sebagai gambaran sederhana namun tepat sasaran mengenai frustrasi kolektif pekerja terhadap jam kerja panjang, bos otoriter, hingga rutinitas monoton. Tak heran jika banyak yang mengaitkannya dengan fenomena nyata: meningkatnya angka stres dan ledakan emosi di kantor sejak awal dekade 2000-an.
Data Riset: Emosi Kantor dalam Angka
Psikoterapis asal Inggris, Lucy Beresford, meneliti 1.857 pekerja kantor pada 2007. Hasilnya, hanya 5 persen responden yang mengaku tak pernah merasa marah di kantor. Sebaliknya, 63 persen mengakui pernah lepas kendali, dan separuh dari mereka lebih dari sekali. Sebanyak 83 persen responden juga mengaku pernah menyaksikan rekan kerjanya marah-marah di tempat kerja. Mayoritas responden berasal dari level manajemen menengah ke bawah, kelompok pekerja yang paling sering merasa “dikontrol” oleh sistem dan atasan, sehingga tingkat stresnya lebih tinggi dibandingkan pekerja level atas.
“Manusia pada dasarnya tidak suka dikontrol. Saat seseorang merasa hidup atau waktunya tidak bisa ia atur, stres muncul dan berpotensi berubah menjadi amarah,” jelas Lucy.
Banyak Jalan Menuju Ledakan Emosi
Pemicu amarah pekerja kantor sangat beragam. Pertemuan tak produktif dan panjang disebut sebagai penyebab utama bagi 50 persen responden. Mereka merasa waktunya terbuang percuma, sementara target kerja semakin menumpuk. Faktor eksternal lain juga signifikan. Sebanyak 14 persen merasa terganggu oleh email berlebihan dari atasan, 22 persen oleh ponsel rekan kerja yang berdering terus-menerus, 16 persen oleh dapur kantor yang berantakan, dan 37 persen oleh suhu ruangan yang tidak nyaman. Masalah komunikasi klasik seperti sindiran dari rekan kerja bahkan menjadi pemicu amarah bagi 11 persen responden.
Selain itu, masalah fasilitas juga memicu emosi. Sebanyak 28 persen pekerja marah karena gangguan IT, 20 persen kehilangan dokumen di komputer, dan 30 persen dibuat kesal oleh mesin fotokopi atau printer yang macet. Bagi sebagian pekerja, mesin fotokopi bukan sekadar alat kerja, melainkan simbol frustrasi yang bisa memicu kemarahan mendalam.
Perusahaan Cari Jalan Katarsis
Beberapa perusahaan mencoba mengantisipasi amarah pekerja dengan menyediakan ruang katarsis. Contohnya The Break Room di Melbourne, Australia, yang menawarkan ruang bagi pekerja untuk melampiaskan emosi dengan menghancurkan benda. Pendirinya, Ed Hunter, menyebut ruangan ini sebagai tempat “aman” bagi pekerja untuk marah tanpa harus mengorbankan kolega atau fasilitas kantor.
Namun, para ahli tidak sependapat soal efektivitasnya. Brad J Bushman, profesor psikologi dari The Ohio State University, justru menyebut katarsis destruktif kontraproduktif. “Melampiaskan kemarahan dengan menghancurkan benda sama saja menyiram bensin ke kobaran api. Jantung dan tekanan darah tetap tinggi, pikiran agresif semakin kuat, dan memori tentang kemarahan makin melekat,” ujarnya.
Jalan Lebih Sehat: Pengalihan Emosi
Bushman menyarankan metode yang lebih sehat: mengalihkan energi negatif ke aktivitas positif. Misalnya, menonton film komedi tanpa kekerasan, berolahraga, melakukan yoga, atau bermeditasi. Aktivitas ini menurunkan ketegangan fisiologis, menenangkan pikiran, dan menjauhkan pekerja dari siklus kemarahan berulang.
Lebih jauh, solusi jangka panjang harus diarahkan pada pencegahan. Manajemen perusahaan berperan penting menciptakan ekosistem kerja yang sehat, mulai dari komunikasi yang transparan, pengaturan rapat yang efektif, hingga penyediaan fasilitas kerja yang memadai. Dukungan teknis dan emosional juga krusial agar pekerja merasa dihargai dan tidak semata menjadi “alat produksi”.
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Fenomena marah-marah di kantor bukan sekadar “ulah pekerja emosional”, melainkan cermin dari sistem kerja yang kadang tidak manusiawi. Riset dan refleksi budaya populer menunjukkan bahwa pekerja membutuhkan ruang, bukan hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk merasa dihargai, didengar, dan diberdayakan.
Mengutip pepatah klasik: mencegah lebih baik daripada mengobati. Bagi dunia kerja modern, mencegah stres dan amarah berarti menjaga produktivitas sekaligus melindungi kesehatan mental para pekerja—aset terpenting dalam roda perusahaan. (dht)