Kanal24, Malang – Reformasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi salah satu isu penting dalam tata kelola pemerintahan modern. Kebijakan fiskal yang transparan dan berkeadilan dianggap kunci untuk memperkuat kemandirian daerah sekaligus memastikan distribusi sumber daya publik berjalan efektif.
Mengangkat urgensi tersebut, Kompartemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar Kuliah Tamu bertema “Reformasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Politik Hukum: Mendorong Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Pasca Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2022”, pada Selasa (28/10/2025).
Acara ini menghadirkan narasumber dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yakni Dra. Imelda, MAP, Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, serta Wheny Neldia Senita, S.IP., M.Si., dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah. Kegiatan tersebut menjadi wadah akademik bagi mahasiswa, praktisi hukum, dan perwakilan pemerintah daerah untuk mendalami arah politik hukum di balik kebijakan keuangan nasional.
Ketua Kompartemen Hukum Administrasi Negara FH UB, Amelia Ayu Paramitha, S.H., M.H., menegaskan bahwa kuliah tamu ini diharapkan dapat menjembatani teori hukum dengan praktik kebijakan publik.
“Mahasiswa tidak hanya belajar dari sisi teori, tetapi juga memahami praktik langsung dari para pemangku kebijakan. Melalui narasumber dari Kemendagri, kami ingin membuka ruang dialog yang lebih luas agar mahasiswa, praktisi, dan pemerintah daerah dapat saling bertukar gagasan,” ujarnya.
Amelia menambahkan, kegiatan ini juga menjadi wadah pembelajaran lintas sektor yang melibatkan lebih dari 300 peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, advokat, serta perwakilan pemerintah daerah di Malang Raya. Ke depan, kompartemen berencana menindaklanjuti kegiatan ini melalui forum riset kolaboratif dan program magang tematik yang berfokus pada isu kebijakan keuangan daerah.

Dalam paparannya, Dra. Imelda, MAP menjelaskan bahwa UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi tonggak penting dalam desentralisasi fiskal. Regulasi tersebut, katanya, memberikan ruang kreativitas bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa melanggar prinsip keadilan antarwilayah.
“Undang-undang ini memberikan delegasi dan desentralisasi fiskal yang jelas. Tantangannya kini ada pada kapasitas SDM dan kemampuan daerah dalam menerjemahkan arah kebijakan ke dalam regulasi daerah yang sesuai,” jelas Imelda.
Sementara itu, Wheny Neldia Senita, S.IP., M.Si., menyoroti pentingnya pemanfaatan data potensi dan digitalisasi sistem pajak serta retribusi daerah. Menurutnya, langkah ini menjadi kunci mendorong efektivitas penerimaan daerah tanpa menambah beban masyarakat.
“Penyesuaian nilai dasar pajak harus dilakukan secara berkala, minimal setiap tiga tahun, agar selaras dengan kondisi pasar. Digitalisasi proses pajak akan menutup celah kebocoran dan meningkatkan kepatuhan masyarakat,” ungkap Wheny.
Ia juga menegaskan bahwa Kemendagri kini mendorong pemerintah daerah untuk memperluas kerja sama dengan sektor perbankan dan BUMD dalam pengelolaan pajak dan retribusi. Dengan sistem digital seperti QRIS dan transfer daring, pembayaran pajak menjadi lebih mudah dan efisien bagi masyarakat.
Melalui kegiatan ini, Fakultas Hukum UB menunjukkan komitmennya untuk memperkuat literasi hukum fiskal di kalangan akademisi dan pemerintah daerah. Reformasi hubungan keuangan pusat-daerah bukan hanya soal peraturan teknis, tetapi juga tentang membangun kesadaran baru bahwa transparansi fiskal adalah fondasi utama tata kelola pemerintahan yang adil dan berkelanjutan.(Din/Abl)
 
			 
			










 
															