Kanal24, Malang — Perubahan besar dalam sistem demokrasi Indonesia tengah bergulir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal. Putusan ini menjadi tonggak penting yang mengubah ritme politik Indonesia setelah dua dekade pemilu serentak dijalankan. Namun, di balik niat untuk memperkuat efektivitas dan representasi, muncul kekhawatiran baru: bagaimana memastikan arah demokrasi dan konstitusionalitas tetap terjaga di tengah ketidakpastian hukum yang belum memiliki payung undang-undang turunan.
Keresahan akademik dan urgensi mencari solusi inilah yang menjadi alasan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar Seminar Nasional Forum Komunikasi Magister Ilmu Hukum (FORKOM MIH) bertema “Menata Ulang Arah Demokrasi dan Konstitusionalitas Pemilu Indonesia Pasca Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024” pada Jumat (7/11/2025) di Auditorium Lantai 6 FH UB. Kegiatan ini menghadirkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Mochammad Afifuddin dan pakar hukum tata negara UB Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.

Menurut Dr. Aan, keputusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal memunculkan tantangan baru terhadap sistem demokrasi. Jika sebelumnya pemilihan legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak, maka ke depan masyarakat akan memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden terlebih dahulu, baru dua tahun kemudian memilih kepala daerah dan DPRD. “Putusan ini membawa dampak fundamental terhadap desain kelembagaan politik kita. Karena itu, undang-undang pelaksana harus segera dirumuskan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Aan.
Ia menjelaskan, tanpa dasar hukum yang jelas, transisi sistem pemilu ini bisa menimbulkan kekosongan norma yang justru berpotensi melemahkan legitimasi demokrasi. “Saat ini belum ada aturan turunan yang mengatur pelaksanaan putusan MK. Artinya, ketidakpastian itu masih menggantung. Maka dari itu, forum seperti ini penting untuk menyumbangkan pemikiran agar regulasinya tidak justru menciptakan kebingungan baru,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan bahwa lembaganya siap beradaptasi dengan arah kebijakan baru tersebut, meski menunggu tindak lanjut dari DPR dan pemerintah. “KPU sifatnya melaksanakan undang-undang. Saat ini kami melakukan kajian dan diskusi untuk memberikan masukan terhadap beberapa opsi desain pemilu ke depan,” ujarnya.

Afifuddin menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai strategi efisiensi sekaligus transparansi penyelenggaraan pemilu. “Kami ingin memastikan bahwa setiap perubahan sistem tetap menjunjung prinsip independensi dan profesionalitas penyelenggara. Pemilu harus tetap berintegritas meski dalam format yang baru,” tegasnya.
Melalui forum akademik ini, FH UB berharap dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi substansial, bukan hanya prosedural. Pemisahan jadwal pemilu diharapkan memberi ruang bagi pemilih untuk lebih rasional dan fokus dalam menentukan pilihan, sehingga kualitas representasi politik meningkat. “Selama ini, pemilih sering berada dalam kondisi ‘blank’ karena harus memilih banyak calon sekaligus. Dengan pemisahan ini, preferensi politik masyarakat akan lebih matang,” ujar Aan menambahkan.
Seminar nasional ini menjadi momentum reflektif bagi akademisi, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil untuk menata ulang arah demokrasi Indonesia. FH UB menegaskan, penguatan hukum pemilu tidak boleh berhenti pada tataran teknis, tetapi harus menyentuh esensi: menjamin kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan keberlanjutan demokrasi yang berkeadilan.(Din/Yor)










