KANALl24, Malang – Universitas Brawijaya (UB) kembali mengukuhkan profesor dari Fakultas Hukum (FH). Yakni, Prof. Dr. Imam Kuswahyono, S.H., M.Hum yang dikukuhkan sebagai Profesor aktif ke-9 di Fakultas Hukum (FH) dan Profesor aktif ke 176 di Universitas Brawijaya serta menjadi Profesor ke 330 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh Universitas Brawijaya pada hari Minggu (20/08.2023).
Prof. Imam dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu hukum yang membawakan orasi ilmiah berjudul “Model Pengaturan Berbasis Pancasila Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”.
Sebagai profesor kelahiran Madiun, 21 Oktober 1957, Prof. Imam telah menempuh pendidikan Sarjana Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1985, Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1993, dan Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tahun 2016.
Prof. Imam telah memiliki banyak karya, salah satunya telah melakukan penelitian jurnal internasional sebanyak 30 karya. Lalu, ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris BPP Fakultas Hukum UB tahun 1979-1980 dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan FH UB tahun 2016-2020.
Berkat prestasinya yang luar biasa, Prof. Imam mendapatkan penghargaan dari Presiden RI, yakni penghargaan Satyalancana Karya Satya X Tahun 2006 dan Satyalancana Karya Setya XXX Tahun 2019.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Imam menjelaskan bahwa “Model Pengaturan Berbasis Pancasila” yaitu model ”the highest and best use state asset management based on Pancasila” sebagai suatu konsep baru untuk mengisi kekosongan norma (vacuum norm) terkait pengelolaan barang milik negara, termasuk ketiadaan mekanisme tentang pengelolaan dan penyelesaian sengketanya.
Model ini mengelaborasi politik hukum Pancasila ke dalam Undang-Undang yang l mengatur pengelolaan barang milik negara dengan prinsip pemanfaatan terbaik yang berorientasi pada kemakmuran rakyat.
Prof. Imam menjelaskan untuk mewujudkan tujuan ini, harus dibentuk Badan Manajemen Aset Negara dan Pengadilan Agraria sebagai peradilan khusus. Kelemahan gagasan ini terletak pada realisasi pembentukan regulasinya yang membutuhkan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait. (nid/suk)