Kanal24, Malang – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya menggelar pemutaran film dan diskusi bertajuk Ingatan dari Timor pada Jumat (22/8/2025) di Auditorium Universitas Brawijaya. Acara ini menghadirkan Dr. phil. Anton Novenanto, dosen Sosiologi UB sekaligus Produser Eksekutif film tersebut, serta Dian Mutmainah, S.IP., M.A., dosen Hubungan Internasional UB, sebagai pembahas.
Film Ingatan dari Timor lahir dari kerja sama riset jangka panjang antara FISIP UB dengan Southeast Asia Neighbour Network yang melibatkan 14 kota Asia Tenggara, termasuk Dili, Timor Leste. Anton menjelaskan bahwa film ini merupakan salah satu luaran riset kolaboratif bersama mitra lokal di Timor Leste.
Baca juga:
UB dan Komdigi Luncurkan AI Talent Factory Pertama di Indonesia

“Film ini bermula dari penelitian tentang perkembangan kota di Dili. Namun, untuk memahami kota tersebut, kita perlu menelusuri sejarah Timor Leste secara lebih luas. Masih banyak kisah yang tidak tercatat dalam narasi sejarah formal, dan film ini hadir sebagai medium untuk mengingat,” ujar Anton.
Menurutnya, sejarah bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan jamak, dan dapat ditulis oleh siapa saja. Ia menekankan pentingnya ingatan kolektif sebagai bagian dari proses penulisan sejarah. “Kenapa seseorang harus takut dengan ingatan? Ingatan bukan sesuatu yang berbahaya. Justru mengingat adalah cara kita memastikan sejarah tidak terlupakan,” tambahnya.
Sementara itu, Dian Mutmainah menyoroti peran penting sejarah dalam pembelajaran hubungan internasional. Ia menekankan bahwa memahami pengalaman sejarah merupakan kunci untuk merancang kebijakan masa kini dan masa depan, khususnya dalam penyelesaian konflik.
“Hubungan internasional selalu dibangun di atas pengalaman sejarah. Refleksi dari konflik di masa lalu sangat penting agar kita bisa menentukan tindakan yang lebih tepat hari ini. Film ini juga bisa menjadi bagian dari upaya rekonsiliasi,” jelas Dian.

Baca juga:
PKKMB FISIP UB 2025, Usung Inklusivitas dan Afirmasi Pendidikan Timur
Dian menambahkan, rekonsiliasi bukan hanya soal berhentinya konflik bersenjata, melainkan juga penyembuhan luka sosial dan psikologis masyarakat yang terdampak. “Walaupun secara politik konflik Indonesia–Timor Leste sudah berakhir sejak 1999, bagi masyarakatnya luka itu masih ada. Rekonsiliasi memerlukan perubahan pola pikir, baik dari korban maupun pelaku, agar konflik serupa tidak terulang,” paparnya.
Melalui pemutaran film ini, FISIP UB berharap mahasiswa dan peserta diskusi dapat lebih memahami bahwa sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan sumber pembelajaran yang relevan untuk menjaga perdamaian di masa depan. (nid/dht)