oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu ciri akhir zaman adalah semakin gwlap gulitanya gelombang fitnah. Fitnah telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan akhir zaman. Salah satu bentuk fitnah adalah munculnya banyak kebohongan demi kebohongan yang merebak di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Kebohongan itu terfasilitasi dengan mudah melalui berbagai media yang ada sejalan dengan semakin canggihnya media teknologi informasi. Disaat setiap orang telah memiliki smartphone, yang setiap saat dapat memproduksi berita sendiri serta bebas menyebarkan nya pula tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang cukup tentang citizen journalism. Bahkan mungkin tidak tepat dianggap sebagai sebuah produk journalism. Semangat memproduksi dan menyebarkan berita tidak disertai dengan kedewasaan (maturity) dalam memperlakukan informasi, seperti tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoax (bohong atau palsu), mana informasi yang layak disebarkan serta mana pula informasi yang tergolong sampah dan harus dibuang, Kapan informasi harus disebarkan dan kapan informasi cukup berhenti pada dirinya sendiri. Semua orang pada saat ini ingin menjadi “pahlawan informasi” atau “pahlawan berita”, yaitu dengan menyebarkan berita sesegera mungkin kepada orang lain agar dianggap bahwa dirinya adalah sebagai orang pertama yang menyebarkan berita.
Perilaku berinformasi (informating attitude) seperti demikian yaitu tanpa melalui proses saring sebelum sharing, khususnya pada saat terjadi bencana, musibah, termasuk pada saat pandemi covid-19 seperti saat ini, hanya akan semakin memperkeruh suasana dan menambah timbulnya kepanikan dan kegelisahan di tengah-tengah masyarakat. Kecenderungan selama ini kepanikan yang terjadi di dalam masyarakat bukanlah disebabkan oleh bencana yang terjadi melainkan lebih disebabkan oleh simpang siurnya berita atau informasi tentang bencana dan yang terkait dengannya. Kesimpangsiuran berita menciptakan perasaan dan suasana stres tersendiri bagi masyarakat. Sehingga masyarakat menghadapi dua bencana sekaligus yaitu bencana alam (termasuk wabah penyakit) dan bencana informasi atau bencana komunikasi.
Untuk itulah islam memberikan aturan tentang pentingnya berlaku jujur dan melarang keras untuk berkata dusta. Bahkan menegaskan kepada umatnya untuk berhati-hati di dalam menyampaikan berita, sebab berita bohong yang disebarluaskan hanya akan membuat bencana bagi masyarakat. Sehingga kepada masyarakat penerima berita pun diajarkan untuk melakukan penelitian terlebih dahulu atas kebenaran berita.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Di dalam FirmanNya yang lain Allah menegaskan larangannya tentang ucapan bohong :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih[23] di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur 19)
Al-Imam Al-Mawardi, dalam kitabnya, Adabud Dunya wad Din, mengatakan dengan menukil perkataan Hasan ibn Sahal, bahwa pembuat berita bohong atau hoaks diibaratkan perbuatan mencuri akal sehat (penerima berita):
وقيل في منثور الحكم: الكذاب لص؛ لأن اللص يسرق مالك، والكذاب يسرق عقلك
Artinya, “Dikatakan dalam Mantsurul Hikam bahwa pendusta adalah ‘pencuri’. Kalau pencuri itu mengambil hartamu, maka pendusta itu mencuri akalmu,”.
Untuk itulah Islam mengajarkan agar setiap orang untuk berhati-hati di dalam memproduksi dan menyebarkan berita dengan mengedepankan prinsip kejujuran dan melarang kebohongan. Karena itulah, bagi para pembuat pesan (setiap orang/masyarakat bisa sebagai pembuat pesan) maka merupakan sebuah tindakan bijak manakala sebelum menyebarkan berita terlebih dahulu dilakukan penelitian,
jujur
Selanjutnya memastikan untuk melakukan proses penyaringan berita sebelum disebarkan kepada yang lain, saring sebelum sharing. Nabi saw melarang sikap terburu-buru, termasuk terburu-buru menyebar informasi sebelum ada kejelasannya, sebagaimana sabdanya :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ketengangan itu datang dari Allah SWT dan ketergesaan itu dari Setan” (HR. Al-Baihaqi)
Mengetahui terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari berita hoax yang disebarkan. Serta dengan pengetahuan itu bersedia peduli pada masyarakat agar tidak terjadi kepanikan. Cara sederhana membantu masyarakat pada masa pandemi atau terjadinya bencana adalah berkata yang jujur atau membantu menyebarkan informasi yang benar, atau diam dan tidak menyebarkan berita hoax kebohongan yang dapat menimbulkan kepanikan masyarakat.
Sementara bagi masyarakat penerima informasi, pertama, hendaklah melakukan kroscek dan tabayun atas kebenaran berita yang diperolehnya. Kedua, jika dipastikan berita tersebut bohong maka jangan disebarkan lagi pada yang lain. Ketiga, jangan mudah percaya dengan berita yang berkembang di media sosial kecuali didapatkan dari orang-orang yang benar- benar dikenal dan terpercaya.
Marilah bersikap dewasa dan bertanggung jawab terhadap setiap informasi yang kita miliki agar tidak menjadi bencana baru di tengah terjadinya sebuah bencana, pandemi. Bantulah masyarakat dengan berita yang benar, atau cukup diam untuk tidak menyebarkan berita yang bohong, hoax.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB