Kanal24, Malang – Gunung Mauna Loa merupakan salah satu gunung berapi aktif terbesar dan terpanjang di dunia. Gunung yang berada di Hawaii Amerika Serikat ini sempat erupsi pada Minggu, 27 November 2022 waktu setempat. Gunung Mauna Loa ini meletus untuk pertama kalinya sejak tahun 1984 silam.
Guru Besar di bidang Ilmu Vulkanologi dan Geothermal Universitas Brawijaya, Prof. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D menyempatkan diri untuk mengunjungi Gunung Mauna Loa setelah terjadi letusan. Menurutnya, letusan Gunung Mauna Loa berbeda dengan gunung berapi di Indonesia.
“Kalo pas saya ke sana, melihat langsung bagaimana di sekitar Gunung Mauna Loa itu ada letusan-letusan. Letusan ini berbeda dengan letusan gunung berapi di Indonesia ya. Letusannya lebih bersifat difusi,” terang Prof. Sukir.
Menurut Prof. Sukir, letusan dari Gunung Mauna Loa ini tidak terlalu meledak-ledak. Meskipun meledak-ledak, ledakannya tidak terlalu tinggi seperti gunung berapi Indonesia, seperti Gunung Semeru, tambora, Krakatau, dan gunung-gunung berapi lainnya yang memiliki letupan besar dan mengalir.
Prof. Sukir juga mengatakan bahwa jenis magma sangat berbeda dengan jenis magma gunung berapi di Indonesia. Perbedaan magma ini mempengaruhi sifat letusannya. Nama magma Gunung Mauna Loa ini bersifat lebih basaltik. Magma basaltik ini memiliki kandungan silika di bawah 55 %, sehingga kekentalannya tidak sekental jenis magma lainnya seperti magma Andesitik dan Ryolitik.
“Mayoritas gunung di Hawaii seperti Mauna Loa, Kilauea, Hualalai, dan lain sebagainya memiliki jenis magma yang sama,” ungkap Prof. Sukir.
Gunung berapi di Hawaii memiliki satu jenis magma. Hal ini dikarenakan Hawaii terkesan seperti suatu hotspot besar yang berarti panas magma itu langsung dari bumi yang mengalir terus. Jika di Indonesia ada Danau Kawah dari Gunung Kelud, maka di Hawaii ada Danau Magma.
Di dekat Gunung Kilauea ada Hawaiian Volcano Observatory (HVO) yang secara terus menerus melakukan penelitian atau mempelajari karakter dari gunung berapi dan melihatnya dengan baik. Menurut Prof. Sukir, hampir semua metode atau teknologi yang diterapkan di sana itu diintegrasikan. Beberapa metode yang diterapkan dan diintegrasikan adalah metode dari geofisika, termasuk visual, biokimia, geodesi, deformasi, dan metode-metode lainnya.
“Semua metode diterapkan di sana untuk benar-benar mempelajari karakter pergerakan dari gunung berapi,” ungkap Prof. Sukir.
Prof. Sukir juga menambahkan jika diperhatikan lebih seksama, letusan Gunung Berapi di Hawaii tidak memakan banyak korban. Hal ini dikarenakan kesiapsiagaan masyarakat di Hawaii sangat tinggi, prinsip pentahelix dalam hal mitigasi bencana itu sangat besar, dan komponen-komponen lainnya seperti pemerintah, akademisi, industri, hingga masyarakat bekerjasama dengan baik untuk mendukung mengatasi bencana yang terjadi. Selain itu, media massa juga menjadi corong informasi yang baik.