Kanal24, Malang – Pengakuan kedaulatan Palestina oleh gelombang negara anggota Majelis Umum PBB pada KTT New York menjadi titik balik penting dalam perjalanan diplomatik Palestina. Namun di tengah euforia tersebut, para pakar hukum internasional menilai bahwa fase setelah pengakuan justru menjadi periode paling krusial dan penuh tantangan.
Kerangka pikir inilah yang menjadi alasan utama penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) bertema solidaritas Palestina dalam rangkaian kegiatan UBāPalestine Solidarity, yang akhirnya terlaksana setelah lama direncanakan. Salah satu pemateri utama dalam forum tersebut adalah Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Setyo Widagdo, S.H., M.Hum.
Baca juga:
KPK: Korupsi Kuota Haji Berpotensi Membengkak
Pengakuan Kedaulatan: Momentum, Bukan Garis Akhir
Dalam pemaparannya berjudul āMasa Depan Palestina Pasca Pengakuan Kedaulatanā, Prof. Setyo menegaskan bahwa pengakuan internasional terhadap Palestina bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari fase perjuangan baru. āPengakuan kedaulatan Palestina merupakan kemajuan signifikan, tetapi tantangan utama justru muncul setelahnya,ā ujarnya.
Menurutnya, pengakuan tersebut membawa implikasi hukum yang sangat kuat. Posisi Palestina di kancah global semakin kukuh, ditandai dengan semakin banyak negara yang mengakui kedaulatannya. Namun, penguatan status ini harus diikuti dengan rekonstruksi politik, kelembagaan, dan keamanan yang membutuhkan dukungan internasional secara penuh.
Rekonstruksi dan Dukungan Internasional yang Tak Boleh Setengah-Setengah
Prof. Setyo menekankan bahwa komitmen global terhadap Palestina tidak boleh berhenti pada pengakuan semata. Rekonstruksi kawasan, terutama desa-desa yang hancur akibat konflik, merupakan tugas moral dan politik masyarakat internasional. āMasyarakat internasional harus mendukung sepenuhnya, tidak setengah-setengah, dalam mewujudkan Palestina Merdekaāmerdeka penuh, merdeka hakiki, yang dapat berdampingan secara damai dengan Israel,ā tegasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa realitas di lapangan masih jauh dari kondisi damai. Israel disebutnya masih melakukan serangan meskipun telah ada deklarasi gencatan senjata. Jumlah korban jiwa, terutama perempuan dan anak-anak, terus bertambah. Catatan resmi menunjukkan sekitar 70.000 nyawa telah hilang sejak serangan balasan Israel pasca 7 Oktober. Menurutnya, angka tersebut kemungkinan jauh lebih besar mengingat banyak korban yang belum terdata.
Tuduhan Genosida dan Kegagalan Mekanisme Internasional
Prof. Setyo menyampaikan bahwa kekejaman yang terjadi mendorong banyak pihak untuk menuduh Israel melakukan genosida terhadap warga sipil Palestina. Pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur dasar, serta serangan indiscriminatif menjadi indikator kuat pelanggaran berat hukum humaniter internasional.
Dalam situasi seperti ini, ia menilai mekanisme internasional masih belum mampu menghentikan agresi. Lembaga internasional, termasuk PBB, menghadapi hambatan geopolitik yang kompleks sehingga tidak dapat memberikan tekanan yang cukup untuk memaksa Israel mematuhi hukum internasional.
Membangun Opini Jakarta hingga Dunia
Di tengah keterbatasan tekanan formal, Prof. Setyo menekankan bahwa peran akademisi dan masyarakat sipil sangatlah penting. āKami tidak bisa melawan Israel dengan senjata, tidak bisa membantu Palestina dengan senjata. Yang bisa kami lakukan adalah membangun opini publik agar kekejaman terhadap kemanusiaan itu dihentikan,ā ujarnya.
Forum seperti FGD ini, lanjutnya, berfungsi sebagai ruang intelektual untuk menyuarakan solidaritas dan memperkuat tekanan moral global. Ia berharap kegiatan serupa tidak berhenti pada satu pertemuan, melainkan terus dilakukan di berbagai tempat untuk melahirkan tekanan kolektif yang lebih kuat terhadap pelanggaran kemanusiaan.
Mengakhiri pemaparannya, Prof. Setyo menyampaikan harapan agar dukungan internasional bagi Palestina tidak berhenti pada simbol politik semata. Rekonstruksi, perlindungan HAM, dan penghentian kekerasan harus menjadi agenda bersama masyarakat dunia. FGD ini, menurutnya, merupakan bagian kecil dari upaya panjang menuju Palestina yang merdeka seutuhnyaābaik secara hukum, politik, maupun kemanusiaan. (nid/dht)









