Kanal24, Malang – Puncak kebahagiaan seorang hamba manakala telah mencapai derajat dicinta. Dan tindakan termulia manakala mampu mencinta sepenuh hati. Tiadalah keindahan mencinta dari para pencinta kecuali mendapatkan getaran cinta dari Sang Pemilik Cinta. Cinta yang bertepuk kedua tangan melantunkan simponi cinta yang memabukkan.
Seorang pecinta akan rela meniru yang dicinta. Kala sang pemilik cinta memiliki keagungan sifat, maka sang pecinta akan menampilkan kemuliaan akhlaq. Hamba para pecinta (Ibaadurrahman) akan memakaikan baju ketawadhu’an pada dirinya yaitu sikap rendah hati saat berada di tengah-tengah interaksi kemanusiaan, sekalipun dia memiliki segudang ilmu, beragam kekayaan atau ketinggian derajat dan jabatan, dia tetap rendah hati. Ibarat padi yang telah penuh berisi, maka akan semakin menunduk.
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati (QS.Al-Furqan : 63)
Ketinggian akhlaq para pecinta saat berjalan, dia menundukkan pandangan, tidak membusungkan dada dengan kesombongan. Saat berbicara, dia tidak meninggikan kesan dengan kalimat yang muluk. Saat berhadapan dengan sesama, dia tidak menatap dengan tatapan merendahkan. Namun dia hadir dengan kerendahan, kesederhanaan dan penghormatan. Baginya merendahkan hati adalah cara memuliakan orang lain sebagai tanda keagungan akhlaq.
Hamba para pecinta apabila berjumpa dengan orang-orang yang suka menghina dan merendahkannya maka dia meninggikan mereka dengan salam kedamaian untuk memuliakannya. Karena Sang Pemilik Cinta adalah Dzat Yang Maha Kasih dan agama mengajarkannya kedamaian.
… وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا
… dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,” (QS. Al-Furqan : 63)
Hati yang penuh dengan cinta akan selalu damai. Kedamaian yang bermula dari dalam diri yang diliputi cinta kasih dari Sang Maha Pengasih. Diri yang menebarkan rasa sayang dari Sang Maha Penyayang. Sehingga celaan tak menjadikannya benci tanpa rasa dendam, dan pujian tak menjadikannya sombong tanpa keangkuhan. Setiap cibiran dibalasnya dengan senyuman. Setiap cercaan dan cacian dibalasnya dengan pujian dan penerimaan. Dan setiap hinaan dan cemoohan dibalasnya dengan ucapan salam keselamatan. Setiap kejelekan selalu dibalasnya dengan kebaikan dan permaafan. Dia tidak membalas perkataan yang buruk dengan perkataan yang serupa. Karena dalam diri para pecinta telah diselimuti cinta dan kebahagiaan.
Hamba para pecinta senantiasa menenangkan diri dalam keheningan malam guna meraih kedamaian. Malam baginya adalah saat yang paling membahagiakan dan ditunggu-tunggu. Karena itulah saat paling indah dalam memadu kasih dengan Sang Maha Kasih melalui sujud dan deraian air mata di hamparan sajadah. Tak ada jarak antara dia dengan Dia. Itulah jarak terdekat seorang pencinta dengan Yang Dicinta. Malam menjadi kehidupannya, nafas yang berpadu dengan dzikir memanggil namanya dalam tarian jemari memutar tasbih. Itulah saat-saat mendamaikan jiwa. Jiwa tenang yang melahirkan kedamaian diri dan ketinggian derajat atau maqam. Pada malam-malam yang gelap, dia merangkai doa dan harap agar mampu menjadi pelita dalam gelapnya misteri masa depan yang tidak menentu serta gelapnya alam kubur. Sujud-sujud dalam keheningan adalah pelita dan lintera yang menerangi dada dan jalan-jalan kehidupan. Demikianlah kehidupan para pecinta, menghabiskan malam-malamnya untuk melakukan munajat cinta mengundang belas kasihNya.
وَٱلَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمۡ سُجَّدٗا وَقِيَٰمٗا
dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.( Al-Furqan : 64)
Mari jadilah Hamba Para Pecinta dan semoga kita meraih kecintaanNya. Semoga dengan cintaNya mampu mengantarkan diri kita dalam kedamaian dan kebahagiaan. Aamiiin…. (Bagian Pertama dari 2 tulisan).
KH. Akhmad Muwafik Saleh, Dosen Fisip UB, Motivator