Kanal24, Malang – Konsep hilirisasi industri kembali menempati posisi strategis dalam arah pembangunan ekonomi nasional. Menurut Prof. Putu Mahardika Adi Saputra, S.E., M.Si., M.A., Ph.D., akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), hilirisasi bukan hanya tentang peningkatan nilai tambah produk mentah, tetapi juga jalan menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pandangan tersebut disampaikannya dalam forum Simposium Nasional 2025 “Transformasi Ekonomi Indonesia: Hilirisasi Industri dan Perdagangan untuk Pertumbuhan Inklusif” yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FEB UB pada Rabu (05/11/2025), di Aula Gedung F lantai 7 FEB UB.
Hilirisasi Sebagai Penggerak Nilai Tambah Nasional
Dalam paparannya, Prof. Putu menegaskan bahwa hilirisasi merupakan “kata kunci” dalam proses transformasi ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa upaya mengolah sumber daya mentah menjadi produk bernilai tinggi telah lama menjadi fokus pembangunan, namun belum sepenuhnya memberikan dampak pemerataan. Oleh karena itu, hilirisasi perlu diarahkan bukan hanya pada peningkatan output ekonomi, tetapi juga pada distribusi manfaat yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga:
Syahda Guruh: Diplomasi Indonesia Harus Berlandaskan Idealitas Konstitusi
“Bagaimana caranya agar komoditas mentah yang kita miliki dapat menghasilkan nilai tambah yang tidak hanya meningkatkan pertumbuhan output nasional, tetapi juga memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya menjadikan hilirisasi sebagai media untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan menjangkau sektor-sektor tradisional seperti pertanian dan industri kecil.
Menurutnya, esensi dari pertumbuhan inklusif adalah sejauh mana peningkatan ekonomi mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat di berbagai tingkatan. “Pertumbuhan yang cepat tidak akan berarti jika hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Pemerataan manfaat menjadi ukuran keberhasilan pembangunan nasional,” imbuhnya.
Tantangan Implementasi dan Reformasi Kebijakan
Lebih lanjut, Prof. Putu menguraikan sejumlah tantangan utama yang masih menghambat pelaksanaan kebijakan hilirisasi di Indonesia. Ia menyoroti bahwa meskipun pemerintah telah berkomitmen memperkuat sektor industri, masih terdapat kendala birokrasi dan hambatan perizinan yang membuat pelaku industri kesulitan untuk berinvestasi.
“Beberapa studi lembaga penelitian menunjukkan bahwa para pengusaha masih menghadapi kendala perizinan yang panjang dan berbelit. Ini menjadi tantangan serius yang harus disederhanakan agar iklim investasi semakin kondusif,” jelasnya.
Selain itu, isu korupsi juga disebutnya sebagai hambatan besar dalam memperkuat hilirisasi industri. Menurutnya, penyalahgunaan wewenang dan praktik suap harus ditindak tegas untuk menciptakan ekosistem bisnis yang bersih dan efisien. Ia menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang melanjutkan kebijakan antikorupsi serta memperkuat sistem pengawasan di berbagai sektor ekonomi.
“Saya sangat mengapresiasi arah kebijakan pemerintah yang jelas mendukung pemberantasan korupsi. Ini menjadi sinyal positif bagi investor, baik dari dalam maupun luar negeri, bahwa Indonesia sedang berada di jalur yang benar,” ujarnya.
Sinkronisasi dari Pusat ke Daerah Jadi Kunci Keberhasilan
Dalam konteks implementasi kebijakan, Prof. Putu juga menyoroti pentingnya sinkronisasi antara kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Ia menilai bahwa keberhasilan hilirisasi sangat bergantung pada keselarasan antara visi pemerintah pusat dengan pelaksanaan di tingkat daerah dan pelaku industri.
“Goodwill dari pemerintah pusat sudah luar biasa, tetapi tantangannya ada di tingkat pelaksanaan. Diperlukan mekanisme monitoring dan evaluasi yang kuat agar kebijakan benar-benar dijalankan secara selaras dari atas hingga ke level bawah,” jelasnya.
Ia menekankan perlunya sistem reward and punishment bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan hilirisasi. Daerah yang mampu menjalankan kebijakan dengan efektif, menurutnya, perlu mendapat penghargaan, sedangkan daerah yang belum optimal perlu dibina dan dievaluasi lebih lanjut.
Hilirisasi dan Peluang di Tengah Dinamika Global
Di akhir paparannya, Prof. Putu mengingatkan bahwa hilirisasi nasional juga harus responsif terhadap perubahan dinamika global. Menurutnya, perkembangan pasar internasional, perubahan geopolitik, dan tren energi hijau perlu dimanfaatkan sebagai peluang, bukan sekadar tantangan.
“Pemerintah perlu memiliki strategi kuat untuk mengubah dinamika global menjadi pengungkit pertumbuhan. Jika kita mampu mengelola peluang dari pasar internasional dan memperkuat rantai nilai di dalam negeri, maka Indonesia bisa tumbuh lebih cepat dalam empat tahun ke depan,” ujarnya optimistis.
Dengan arah kebijakan yang konsisten, reformasi birokrasi yang nyata, serta penguatan kolaborasi lintas sektor, Prof. Putu yakin hilirisasi dapat menjadi motor penggerak utama dalam mewujudkan transformasi ekonomi Indonesia yang berkeadilan, tangguh, dan berkelanjutan. (nid/yor)










