Kanal24, Malang – Pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Juli 2022. Sedangkan Muhammadiyah akan melangsungkan Idul Adha pada tanggal 9 Juli 2022. Perbedaan dalam merayakan Hari Raya umat Islam ini kerap terjadi di Indonesia. Lantas bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan ini?
Dosen sosiologi Dr. Ahmad Imron Rozuli menyampaikan pandangannya mengenai perbedaan tanggal pelaksanaan Idul Adha ini merupakan hal lumrah yang tidak perlu diperdebatkan.
“Dengan bedanya pelaksanaan itu saya kira ini adalah bentuk dari sebuah perbedaan yang niscaya terjadi. Karena dengan perhitungan baik hisab maupun rukyat, ada hal yang mungkin agak berbeda meskipun banyak pihak-pihak yang coba mendorong penyatuan itu. Tetapi saya sangat berharap dengan adanya perbedaan ini masyarakat tetap damai dan saling menghormati keyakinan masing-masing. Perbedaan itu wajar, jika kita serahkan bahwa ini kehendak Allah, maka selesai semua. tidak ada yang perlu dibesar-besarkan,” tegasnya.
Diketahui Hari Raya Idul Adha ditetapkan berdasarkan hasil sidang isbat Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag), yang didasarkan dari pantauan hilal pada 86 titik di seluruh wilayah Indonesia. Proses pengamatan hilal ini menjadi pertimbangan penting dalam sidang isbat awal Dzulhijjah. Kemenag menetapkan 1 Dzulhijjah 1443 Hijriyah jatuh pada Jumat 1 Juli 2022, maka Hari Raya Idul Adha 1443 H akan dilaksanakan pada hari Minggu, 10 Juli 2022.
Sedangkan versi Muhammadiyah, Idul Adha telah ditetapkan melalui Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 yang menyebutkan bahwa 1 Dzulhijjah 1443 H jatuh pada hari Kamis Pahing, 30 Juni 2022 M, sehingga jika dihitung, Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, 9 Juli 2022.
Perbedaan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Apalagi saat pemerintah Arab Saudi menetapkan 10 Zulhijah 1443 H jatuh pada 9 Juli 2022.
Imron justru mengapresiasi adanya diskusi di media sosial. Sebab ia menganggap perdebatan ini merupakan bentuk sebuah penyadaran ruang publik. Melalui media sosial yang kemudian terbangun pemahaman akan perbedaan ini muncul. Sentimen-sentimen yang muncul yang kemudian dikelompokkan dapat menjadi bahan kajian yang menarik secara data.
“Jika tidak ada yang beda, maka tidak ada ruang bagi netizen untuk berdialektika,” pungkasnya. (nad/riz)