Setyo Widagdo*
Presiden Prabowo dalam pidatonya di KTT Majelis Umum PBB 22 September yang lalu menyatakan bahwa Indonesia bersedia mengirimkan pasukan perdamaian di Gaza-Palestina jika mendapat mandat dari PBB, bahkan secara eksplisit Presiden menyebutkan jumlah 20.000 pasukan.
Kalimat “jika mendapat mandat dari PBB” ini perlu digaris bawahi agar kesediaan Indonesia mengirimkan pasukan itu memiliki payung hukum internasional yang kuat. Dengan demikian Indonesia jangan sampai terjebak dalam skenario Presiden AS Donald Trumpl yang akan membentuk International Stabilization Force (ISF) atau Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza.
Tentu saja ISF bentukan Trump ini sangat berbeda dengan Pasukan Perdamaian yang biasa dibentuk PBB dimana Indonesia sering berperan.
Sebaiknya Indonesia tidak bergabung dengan ISF jika pasukan tersebut tidak memiliki mandat yang sah dari PBB, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan prajurit dan rentan terhadap resistensi lokal.
Beberapa hal yang akan menjadi tantangan dan hambatan bagi Indonesia jika bergabung dengan ISF, antara lain:
- Kelompok pejuang Palestina yang menguasai Gaza, Hamas, secara tegas menolak gagasan penempatan pasukan asing. Mereka berpendapat bahwa Pasukan Stabilitas Internasional tanpa perlindungan dan mandat PBB yang jelas akan rentan dengan perlawanan lokal. Ini artinya Hamas menolak ISF bentukan Trump, walaupun ISF ini hasil dari KTT perdamaian Gaza di Mesir, tetapi belum mendapatkan persetujuan dari PBB. Jika Indonesia bergabung dengan ISF, juga rentan berkonflik dengan Hamas, pasti pula akan menghadapi dilema, ketika menyikapi kritik dari dalam negeri.
- Israel, sementara menyambut baik rencana demiliterisasi, telah menyatakan keberatan terhadap partisipasi beberapa negara tertentu dalam ISF, seperti Turki. Perdana Menteri Israel juga menegaskan bahwa Israel akan tetap mempertahankan haknya untuk menentukan pengamanan wilayahnya sendiri. Penolakan negara tertentu seperti Turki dan sangat menyetujui Indonesia memimpin ISF bersama dengan Azerbaijan, jangan-jangan ada tendensi tertentu, inilah yang yang saya sebut sebagai jebakan.
- Terdapat perbedaan pandangan mendasar mengenai urutan prioritas: Israel cenderung menginginkan demiliterisasi total sebelum penarikan penuh, sementara kelompok Palestina menekankan perlunya penarikan Israel secara cepat.
Pembentukan ISF tidak luput dari kontroversi, pembentukannya menghadapi tantangan politik yang besar. Hamas, yang merupakan kelompok penguasa Gaza, telah menyatakan bahwa mereka mampu mengamankan wilayahnya sendiri dan menolak wacana pasukan asing tanpa perlindungan hukum internasional yang jelas. Selain itu, terdapat perdebatan mengenai apakah ISF harus sepenuhnya di bawah mandat PBB atau di bawah pengawasan multinasional yang lebih longgar. Israel juga memiliki keberatan terhadap partisipasi beberapa negara tertentu dalam pasukan tersebut.
Sejak awal ide pembentukan ISF di Gaza adalah rencana ambisius untuk mengamankan dan merehabilitasi Jalur Gaza pasca-konflik, tetapi implementasinya terhambat oleh kompleksitas politik regional dan internasional, khususnya terkait demiliterisasi, mandat hukum internasional, dan persetujuan dari semua pihak yang bertikai.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo musti hati-hati dalam menyikapi ajakan AS untuk bergabung dengan ISF. Presiden Prabowo harus tegas menyatakan bahwa Indonesia hanya akan bergabung dalam Pasukan Perdamaian atau Peace Keeping Force dibawah mandat PBB sebagaimana yang sudah berkali kali dilakukan oleh Indonesia di Lebanon, karena pengiriman pasukan perdamaian semacam itu memiliki legalitas hukum internasional.
Dengan demikian, pengerahan TNI untuk bergabung dengan ISF tak perlu dilakukan, karena hanya akan membahayakan peran TNI jika turut ambil bagian dalam misi ISF itu. Jika TNI ikut berpartisipasi ke dalam ISF, akan rentan terhadap resistensi (perlawanan) kelompok Hamas. Karena tidak ada hukum internasional yang melindungi ISF sebagai pasukan perdamaian.
Lebih baik Indonesia menunggu resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB untuk ikut serta dalam pasukan Peace Keeping Force, yang lebih memiliki legitimasi yang kuat dalam perspektif hukum internasional, daripada pembentukan ISF yang di inisiasi Oleh AS melalui KTT Perdamaian Timur Tengah di Mesir baru-baru ini.
Apalagi KTT Perdamaian Timur Tengah di Sharm el-Sheikh, Mesir itu tak ada melibatkan otoritas-otoritas dari Palestina. Pun juga tak ada melibatkan apalagi persetujuan dari Hamas sebagai faksi perlawanan di Gaza. Hal tersebut tak memberikan gambaran optimisme yang tinggi untuk perdamaian di Gaza-Palestina.
Yang lebih parah lagi bahwa dalam proposal pembentukan ISF oleh AS itu, belakangan dikabarkan untuk memberikan tekanan kepada Hamas agar bersedia melucuti persenjataannya. Dan hal tersebut, hanya akan menciptakan konflik baru antara Hamas dengan negara-negara yang bersedia bergabung dengan ISF. Sekali lagi inilah yang saya maksud jebakan itu. Indonesia harus benar-benar cermat dan ekstra hati hati menyikapi hal ini. Presiden Prabowo tidak boleh gegabah memberikan statement menyangkut kesediaannya mengirim pasukan di Gaza.(*)
Penulis merupakan Guru Besar Hukum Internasional FH UB dan Pakar Hukum Internasional [email protected]










