KANAL24, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani sepulang dari pertemuan para menkeu G-20 pada pekan ini di Italia menyoroti isu pertumbuhan global yang tidak merata. Sementar akses terhadap vaksin covid-19 merupakan persyaratan untuk pemulihan berkelanjutan.
Indonesia secara resmi akan menjadi Presidensi G20 pada tahun 2022 setelah dilakukannya serah terima dari Italia kepada Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Roma, Italia pada 30-31 Oktober 2021.
Menurut Menkeu di antara banyaknya tantangan global yang saat ini dihadapi, perubahan iklim menjadi salah satu yang terberat dan dapat mengancam peradaban manusia.Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa transisi hijau dalam upaya penanganan perubahan iklim tidak hanya adil dan teratur, tetapi juga terjangkau (A Just, Orderly and Affordable) terutama bagi negara-negara berkembang dan negara miskin.
“Bauran kebijakan harus memungkinkan negara untuk meminimalisasi konsekuensi yang timbul dari transisi hijau. Upaya penurunan emisi di sektor energi melalui transisi dari penggunaan bahan bakar fosil (fossil phased out) harus dipersiapan dan dilaksanakan secara bertahap, dengan dukungan akses yang terjangkau dalam pembangunan infrastruktur dan teknologi rendah karbon yang berkelanjutan, meminimalisasi kerugian ekonomi dan sosial bagi berkembang dan negara rentan, termasuk memitigasi risiko hukumnya,” kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/10/2021).
Pendanaan menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia akan terus mendukung agenda perubahan iklim G20. Salah satu komitmen kuat Indonesia dalam mendukung agenda iklim ialah mengadopsi reformasi fiskal untuk mempercepat transisi hijau. Saat ini, Indonesia dalam proses menerbitkan peraturan tentang penetapan harga karbon dan mengembangkan Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim.
Hal lain yang diangkat dalam pembahasan G20 adalah dukungan kesepakatan atas dua pilar reformasi pajak internasional, yaitu (1) negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan digital global atau multinasional terbesar dan (2) pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15%. “Kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global untuk memerangi praktik base erosion profit shifting ( BEPS ) dan secara lebih luas, persaingan tidak sehat tarif pajak atau race to the bottom dalam perpajakan internasional,” ujar Sri Mulyani.
Pada kesempatan tersebut, Menkeu juga menyampaikan bahwa Indonesia mengapresiasi capaian strategis Presidensi G20 Italia, yaitu, (1) dukungan G20 untuk negara-negara rentan yang terdampak pandemi (2) pembentukan Sustainable Finance Working Group ( SFWG ) yang menghasikanl peta jalan keuangan berkelanjutan G20; (3) pembentukan High Level Independent Panel ( HLIP ) tentang pembiayaan untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi; (4) Kesepakatan perpajakan digital; dan (5) Dialog Investor Infrastruktur G20.(sdk)