Kanal24, Malang — Menjelang dua tahun pasca Pemilu 2024, refleksi terhadap perilaku politik masyarakat Jawa Timur menunjukkan realitas yang mengkhawatirkan. Tingginya praktik politik uang dan rendahnya literasi politik masih menjadi tantangan besar bagi kualitas demokrasi di daerah dengan jumlah pemilih terbesar kedua di Indonesia ini. Kondisi tersebut menjadi sorotan utama dalam kegiatan “Diseminasi Dilema Perilaku Politik Masyarakat Jawa Timur di Pemilu 2024” yang digelar oleh Indonesia Political Survey & Consulting (Indopol Survey) di Auditorium Universitas Brawijaya (UB), Rabu (12/11/2025).
Direktur Eksekutif Indopol Survey, Ratno Sulistiyanto, mengungkapkan adanya pergeseran dalam cara masyarakat menentukan pilihan politiknya. Jika sebelumnya tokoh masyarakat atau ulama berperan besar dalam memengaruhi arah dukungan, kini peran mereka mulai menurun drastis.
“Penokohan atau ulama yang dijadikan patokan dalam pemilihan umum itu sudah bergeser. Dari hasil survei kami, peran tokoh masyarakat dalam menentukan pilihan politik tidak lebih dari 10%. Yang paling tinggi justru politik konvensional, yaitu money politics ataupun sembako — sekitar 40% bisa memengaruhi frekuensi pilihan masyarakat,” ungkap Ratno.
Ia menilai fenomena ini sebagai bentuk political alienation, yakni keterputusan emosional antara masyarakat dengan elite politik. “Tingginya political alineasi ini karena masyarakat merasa tidak pernah terhubung dengan pemimpin politik,” jelasnya.

Demokrasi dan Tantangan Literasi Politik
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran pendidikan tinggi dalam membangun kesadaran politik dan digitalisasi demokrasi. Menurutnya, kampus harus berperan aktif dalam memperkuat literasi publik di tengah derasnya arus informasi.
“Kita memasuki era demokrasi yang diwarnai arus informasi yang keras, namun juga berhadapan dengan kesenjangan komunikasi antara masyarakat dan pemimpin,” ujar Prof. Widodo.
Senada dengan itu, Andhyka Muttaqin, MPA, pakar kebijakan publik dari FIA UB, menambahkan bahwa rendahnya partisipasi politik warga Jatim tidak lepas dari lemahnya kesadaran kritis. “Dari survei dua tahun terakhir, partisipasi politik masyarakat termasuk kurang baik. Kebanyakan masih bersifat mobilisasi, bukan partisipasi sadar,” jelasnya.
Sementara itu, Insan Qoriawan, anggota KPU Provinsi Jawa Timur, menilai hasil survei Indopol menjadi potret penting bagi lembaganya untuk membaca tantangan penyelenggaraan pemilu di daerah.
“Survei ini bisa menjadi potret yang menggambarkan kondisi riil masyarakat. Jawa Timur itu provinsi besar dengan lebih dari 31 juta pemilih dan kultur yang beragam. Tantangannya luar biasa,” ujarnya.
Ia menegaskan, hasil survei yang menunjukkan masih kuatnya pengaruh money politics menjadi tantangan serius bagi penyelenggara pemilu. “Bagi kami, tantangannya adalah bagaimana pendidikan politik bisa membuat orang memilih karena rekam jejak dan kualitas calon, bukan karena iming-iming uang atau sembako,” tegasnya.

Peran Kampus dan Bawaslu dalam Membangun Kesadaran Politik
Ketua Bawaslu Jawa Timur, A. Warits, menilai kegiatan ini relevan dengan upaya lembaganya dalam meningkatkan literasi politik masyarakat. Ia menjelaskan, Bawaslu kini berupaya membangun literasi politik berbasis catatan peristiwa pemilu, bukan sekadar teori.
“Literasi politik kita masih buruk, termasuk di kampus. Mestinya literasi itu berbasis catatan peristiwa, bukan hanya teoritik. Peristiwa-peristiwa pemilu harusnya menjadi basis utama untuk membangun kesadaran politik, terutama di Jawa Timur,” jelasnya.
Warits menambahkan, pengawasan pemilu dilakukan di seluruh jenjang hingga tingkat TPS, namun kesadaran masyarakat menjadi faktor penting dalam menjaga kedaulatan rakyat. “Pemilu adalah ruang kedaulatan rakyat, dan kedaulatan itu harus kita jaga bersama-sama,” tegasnya.
Melalui forum diseminasi ini, kolaborasi antara kampus, lembaga survei, dan penyelenggara pemilu diharapkan dapat memperkuat literasi politik dan mempersempit jarak antara rakyat dan pemimpinnya. Jawa Timur, dengan kompleksitas sosial dan politiknya, kini menjadi cermin betapa demokrasi Indonesia masih membutuhkan kerja keras untuk benar-benar matang — bukan hanya secara prosedural, tetapi juga dalam kesadaran publiknya.(Din/Dpa)










