Kanal24, Malang – Kontribusi besar industri hasil tembakau kembali menjadi sorotan dalam acara Sumbang Cukai Rp216 Triliun, Industri Rokok Masih Jadi Penopang Ekonomi yang digelar oleh Kementerian Perindustrian di Jakarta pada Senin (29/9/2025). Acara ini menegaskan peran vital industri hasil tembakau (IHT) sebagai salah satu sektor strategis yang menyokong penerimaan negara dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif.
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyampaikan bahwa kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun. Angka tersebut tidak hanya mencerminkan penerimaan negara yang signifikan, tetapi juga menggambarkan betapa luasnya lapangan kerja yang dihasilkan, yakni sebesar 5,98 juta orang mulai dari petani, perajang, buruh pabrik, hingga eksportir. “Nilai ekspor produk hasil tembakau juga mencapai USD 1,85 miliar atau naik 21,71% dari tahun sebelumnya. Ini bukti nyata peran penting IHT,” ungkap Faisol.
Baca juga:
Refleksi Otonomi Desa: Dana Melimpah, Tata Kelola Masih Rapuh

Industri Strategis dengan Ekosistem Mandiri
Menurut Faisol, ekosistem pertembakauan di Indonesia sudah terbentuk sejak masa kolonial Belanda dan kini menjadi penopang kehidupan jutaan masyarakat. Struktur industri yang lengkap, mulai dari pengeringan tembakau, pembuatan kertas rokok, filter, bumbu, hingga sigaret kretek tangan dan mesin, membuat IHT mampu mandiri. Bahkan, Indonesia kini menempati posisi keempat eksportir hasil tembakau dunia.
“Dengan basis industri kuat, lokasi strategis, dan kualitas produk yang diakui global, kami optimistis ekspor hasil tembakau Indonesia akan terus meningkat di masa depan,” jelas Faisol.
Tantangan Kesehatan dan Kebijakan Fiskal
Meski memiliki kontribusi besar, Wamenperin tidak menutup mata terhadap eksternalitas negatif yang ditimbulkan produk tembakau, terutama terkait risiko kesehatan. Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan fiskal maupun non-fiskal harus dibuat secara berimbang. “Cukai tembakau harus tetap berfungsi sebagai instrumen pengendali konsumsi agar tidak mudah diakses anak-anak. Namun kenaikan tarif yang berlebihan justru bisa menekan industri legal dan mendorong rokok ilegal,” tegas Faisol.
Isu ini semakin menarik ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026. Keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan akademisi dan pengamat. Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mempertanyakan apakah keputusan ini lebih berpihak pada stabilitas industri atau justru mengorbankan kesehatan publik dan penerimaan negara. “Cukai rokok ibarat rem darurat. Ketika tarif dibiarkan tetap, rem seolah dilepas, dengan alasan industri membutuhkan tenaga untuk terus berjalan,” ujarnya.
Baca juga:
Coffee Rider Hadir di Jalan Veteran Malang
Imbas Bagi Buruh dan Konsumen
Bagi buruh linting rokok, kebijakan tidak menaikkan tarif cukai dianggap sebagai kabar baik. Stabilitas harga memberikan kepastian kerja serta menjaga konsumen agar tidak beralih ke produk ilegal. Produsen, khususnya yang bergerak di sektor sigaret kretek tangan (SKT), juga lebih leluasa dalam merencanakan produksi.
Namun, Achmad menegaskan bahwa kepastian tersebut hanya bersifat jangka pendek. Tren global menunjukkan konsumsi rokok cenderung menurun, bergeser ke produk alternatif seperti vape. Tanpa adanya roadmap transisi yang jelas, industri tembakau dikhawatirkan terjebak dalam stagnasi. “Jika ingin bertahan, industri harus bertransformasi dengan diversifikasi produk, bukan sekadar mempertahankan status quo,” pungkasnya. (nid)