KANAL24, Malang – Tidak mengenal kompetitor karena keuntungan kolektif mempengaruhi pasar, membuat budidaya udang digandrungi oleh sebagian orang. Salah satunya adalah Yanuar Toto Raharjo, seorang pembudidaya udang varietas vaname asal Banyuwangi.
Kepada kanal24.co.id, Jumat (19/6/2020) Yanuar menceritakan bagaimana proses pembudidayaan udang vaname. Udang varietas ini berasal dari pasifik. Proses budidaya untuk skala intensif yang pertama penting untuk memperhatikan aspek teknis dan non teknis. Contoh, kalau di budidaya udang intensif yang pertama adalah mempersiapkan lahan dan menyesuaikan kontruksi kolam. Sebagai lahan dasar bisa memakai tanah, semen, beton atau bisa berupa HDPE. Di beberapa tambak daerah tertentu menggunakan plastik mulsa. Ini juga membutuhkan teknik yang spesifik untuk masing-masing jenis lahan dasar.
Kemudian, dilanjutkan dengan persiapan penebaran benih udang atau benur yang disesuaikan dengan kepadatan tebar jumlah benur per meter perseginya. Untuk budidaya skala intensif, umumnya dimulai kepadatan 60 – 300 ekor per meter persegi tergantung dari sarana prasarana dan teknologi budidaya yang diterapkan. Sedangkan untuk skala super intensif, ada beberapa tambak di Indonesia bisa dikisaran 500-1500 ekor benur per meter persegi.
Tahap selanjutnya dari penebaran benur adalah pemilihan program pakan. Penting dihitung dengan cermat karena komponen biaya pakan berada pada kisaran 50 persen dari biaya produksi, sehingga untuk controlling pakan pada proses budidaya sangat penting sekali dan itu vital, karena bisa menentukan faktor keberhasilan budidaya.
“Pada masa budidaya umumnya di usia 120 hari, tetapi dengan berbagai perkembangan teknologi yang ada dan juga tergantung dari sistem budidaya, ada yang menggunakan sistem parsial jadi sebelum usia 4 bulan sudah mulai dibudidaya, tergantung masing-masing farm yang menjalankan. Tetapi ada juga yang menjalankan budidaya di kisaran 75-90 hari dengan teknologi percepatan pertumbuhan dengan menggunakan teknologi automatic fider. Program percepatan ini seperti yang saya lakukan sehingga kita bisa memangkas usia budidaya dan ini juga bisa kita dapatkan benefitnya,” jelas alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) itu.
Lanjutnya, apabila dalam kurun waktu satu tahun bisa melakukan 2 siklus budidaya, tapi dengan pengembangan teknologi percepatan pertumbuhan pemanfaatan automatic fider, bisa membuat setahun menjadi 3 siklus, atau bahkan untuk yang skala kecil (indoor) bisa setahun 4 kali siklus budidaya.
Masa perawatan udang, harus menerapkan manajemen pakan yang sangat baik, penentuan kualitas air, dll. Antara manajemen pakan dan manajemen kualitas air saling mempengaruhi karena media hidup udang adalah air. Sehingga tentunya manajemen kualitas air ini sangat harus diperhatikan karena ini adalah kunci keberhasilan budidaya.
“Di Indonesia kita bersyukur dengan cuaca tropis, daerah-daerah kepulauan, garis pantai yang panjang, beragam sistem budidaya yang dikembangkan cukup variatif dan masing-masing memang menyesuaikan spesifikasi dari lingkungan masing-masing. Dibutuhkan kontrol terhadap teknologi dan rutin mengawal kualitas air atau budidaya udang itu sendiri, bukan hanya skala internal farm tambak tapi juga berkontribusi untuk ikut serta memelihara perairan umum, harus tetap menerapkan konsep sustainable aquaculture,” kata pria yang sudah berkecimpung di budidaya udang vaname sejak 2001 tersebut.
Proses budidaya udang antara varietas satu dengan yang lain berbeda, tergantung teknologi yang digunakan, teknik pemeliharaan, dll.
Tetapi, keuntungan budidaya udang juga tidak bisa dianggap remeh, karena produksi udang Indonesia dari sisi pendapatan devisa masih cukup mendominasi, sebab yang diproduksi adalah barang berskala ekspor. Contohnya, meski banyak usaha yang terkena dampak pandemi Covid-19, budidaya udang masih running well, ada pengaruh diharga udang tetapi fluktuatif karena memang harga udang tidak bisa mengikuti hukum ekonomi sepenuhnya.
“Apabila banyak bidang usaha mengenal kompetitor. Di budidaya udang, justru mengenal mitra dalam bisnis, antara petambak udang tidak ada istilah kompetitor, artinya kalau biasanya antar kompetitor pasti menyembunyikan teknologi yang digunakan dari satu kompetitor dengan kompetitor lain, tetapi di tambak udang tidak ada, kita semua mitra. Justru kita sering sharing pengalaman baik teknologi cara mengatasi penyakit atau yang lain kita selalu sharing karena keberhasilan secara kolektif juga menentukan market,” pungkasnya.(meg)