Kanal24, Malang – Pada Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Brawijaya 2025, suara inklusivitas menggema di tengah 17 ribu mahasiswa baru. Di atas panggung megah, Jesslyn Alvina Limanto, staf acara PKKMB yang juga merupakan mahasiswa Tuli, membawakan narasi Voice for Inklusivitas sambil mengajak seluruh peserta bergerak bersama menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Momen itu menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi Jesslyn selama menjadi panitia Raja Brawijaya tahun ini.
“Paling berkesan adalah saat membawakan narasi Voice for Inklusivitas di depan 17 ribu mahasiswa baru, dan melihat semua ikut belajar serta menggerakkan bahasa isyarat bersama,” ujarnya.
Baca juga:
PKKMB UB 2025 Hadirkan Tenda Lintas Agama

Perjalanan Jesslyn di kepanitiaan PKKMB tidak lepas dari tantangan, terutama dalam komunikasi dan koordinasi. Sebagai mahasiswa Tuli, ia sering kesulitan menangkap informasi jika penyampaian berlangsung terlalu cepat. Situasi ini kian terasa saat rapat tidak menyediakan juru bahasa isyarat. “Kadang rapat juga tidak memungkinkan adanya juru bahasa isyarat, jadi saya minta teman-teman berusaha menerjemahkan dengan BISINDO sebisa mereka, meskipun kadang masih ada kesalahan isyarat,” jelasnya.
Meski tak ingat pasti siapa yang pertama mengajaknya bergabung, Jesslyn mengakui bahwa dukungan banyak pihak membuatnya mantap terlibat. Dalam kepanitiaan, ia melihat Divisi SPV sebagai salah satu yang paling memahami kebutuhan mahasiswa baru disabilitas. Divisi ini membantu mengurus absensi, memberikan arahan, hingga membela mahasiswa difabel ketika terjadi perlakuan yang tidak adil. “Panitia acara juga turun tangan membela mahasiswa difabel yang diminta duduk di belakang dengan alasan mempermudah mobilisasi,” tambahnya.
Kesadaran akan pentingnya keberagaman di dalam kepanitiaan semakin kuat bagi Jesslyn saat menyadari bahwa seluruh panitia perlu mampu berbahasa isyarat. Baginya, pemahaman dunia difabel harus menjadi pengetahuan dasar semua panitia agar komunikasi lebih lancar dan setara.
Pengalaman ini bukan yang pertama bagi Jesslyn. Sejak tahun lalu, ia sudah terlibat sebagai panitia Raja Brawijaya. Kala itu, ia memperkenalkan BISINDO dalam sesi perkenalan dan mengunggahnya di media sosial TikTok, yang mendapat sambutan positif. “Sejak tahun lalu, ketika saya pertama kali menjadi panitia Rabraw, mulai merilis perkenalan menggunakan BISINDO dan mengunggahnya di TikTok,” ungkapnya.
Ia juga melihat langkah UB yang semakin bergerak menuju kampus inklusif. Keyakinan ini muncul kembali saat Open Ceremony tahun ini, ketika ajakan bahasa isyarat diikuti ribuan mahasiswa baru. “Saat Open Ceremony, melihat 17 ribu mahasiswa baru ikut menggerakkan bahasa isyarat membuat saya yakin UB sedang bergerak ke arah yang lebih inklusif,” tuturnya.
Bagi Jesslyn, menjadi panitia PKKMB memiliki arti penting secara pribadi. Ia merasa bisa membela dan melindungi mahasiswa difabel, terutama saat ada panitia yang bersikap tidak adil. “Misalnya, ketika ada yang menyuruh mereka duduk di paling belakang. Saya berusaha memastikan hal itu tidak terjadi,” tegasnya.
Ia menilai pelibatan mahasiswa disabilitas dalam kepanitiaan sangat penting, bukan untuk menimbulkan rasa kasihan, melainkan untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki hak yang sama. “Semua orang perlu tahu bahwa mahasiswa difabel tidak butuh dikasihani, tetapi memiliki hak yang sama, dan kita harus tahu apa yang mereka butuhkan,” ujarnya.
Baca juga:
Didepan Maba UB Menteri Wihaji Sebut Keluarga Harmonis Fondasi Indonesia Maju
Dalam menjalankan perannya, Jesslyn selalu berupaya mendukung mahasiswa baru, termasuk yang disabilitas. Ia membantu ketika mereka bingung atau kesulitan, baik dalam mengikuti kegiatan maupun menyelesaikan tugas ospek. “Contohnya pada tugas ospek, saya ikut memberi arahan karena saya sendiri di bagian acara Task Craft,” jelasnya.
Melalui kontribusinya di PKKMB, Jesslyn berharap semakin banyak pihak memahami bahwa inklusivitas bukan hanya wacana, tetapi harus dihidupkan dalam setiap langkah. Baginya, keberadaan panitia disabilitas bukan sekadar simbol, melainkan bagian penting dari perubahan budaya kampus menuju ruang belajar yang benar-benar setara. (han)