Kanal24, Malang – Dalam gelaran 16 HAKTP Syrene Exhibition BEM FISIP UB di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, Jumat (28/11/2025), duo kreator Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez meramaikan ruang diskusi lewat talkshow Polarisasi Goes to Campus. Membawa spirit seni, kritik politik, dan literasi digital, keduanya mengurai bagaimana demokrasi modern semakin ditentukan oleh algoritma, bukan lagi oleh nalar pemilih.
“Pemilu itu pure manipulation,” buka Jovial. Ia menggambarkan bagaimana pihak yang menguasai backend platform digital bisa melihat preferensi politik pengguna secara telanjang—berapa menit menonton kandidat, komentar di mana, hingga siapa saja yang sering diajak berdiskusi. “Sebelum pemilu dimulai, kadang hasilnya sudah bisa ditebak,” lanjutnya.
Baca juga : 16 HAKTP Syrene Exhibition BEM FISIP UB Tekankan Urgensi Isu Kekerasan
Menurut mereka, persoalan terbesar bukan sekadar hoaks atau propaganda, melainkan otomatisasi bias yang disetir oleh algoritma. “Hidup kalian dikontrol HP kalian. Termasuk pilihan politik,” kata Jovi. Ia menegaskan bahwa perilaku pasif masyarakat—yang hanya menerima suguhan konten tanpa pernah melakukan pencarian mandiri—membuat generasi muda menjadi target paling mudah untuk diarahkan.
Jovi mengajak mahasiswa untuk keluar dari “ruang gema digital”. “Setiap orang punya bias, itu normal. Tapi jangan matikan informasi dari kandidat lain. Mulai pakai otak sendiri,” tegasnya.

Seni sebagai Perlawanan
Selain mengupas politik digital, Jovi & Andovi juga membeberkan proses kreatif Polarisasi Musikal, karya panggung yang sebelumnya tayang menjelang Pemilu 2024. Prosesnya memakan hampir dua tahun—mulai dari riset sosial, penulisan script, hingga menyusun 17 lagu yang terintegrasi dengan dialog.
“Produksi musikal mahal dan melelahkan. Tapi seni adalah bentuk resistensi,” ujar Jovial. Keduanya mengaku mendapat tekanan, baik internal maupun eksternal, terutama saat kritik politik dalam musikal itu menyentuh tiga kandidat presiden secara seimbang. “Bahkan Anies Baswedan bilang skrip kami berhasil membagi kritik secara adil,” ungkap Andovi.
Mereka juga menyinggung fenomena shadow ban dan hilangnya video mereka dari trending YouTube. “Karya digital bisa di-take down kapan saja. Makanya kami buat versi offline, supaya tidak bisa dibungkam,” tambah Jovial.
Mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi
Dalam sesi tanya jawab, keduanya menekankan pentingnya meritokrasi, akal sehat, dan keberanian mengambil sikap. “Bantu orang jahat itu tidak butuh kecerdasan, hanya butuh ‘oke bro’,” seloroh Jovi. Ia meminta mahasiswa tidak mengulang pola generasi sebelumnya yang nyaman dalam stagnasi.
“Kalian agent of change. Jangan ikut permainan lama. Kalau negara mau maju, orang dengan kapasitas yang harus menang—bukan yang punya uang,” pungkas Jovial.
Pesan mereka dalam talkshow ini: support gerakan yang benar, bukan yang populer. Demokrasi hanya bisa diselamatkan oleh warga yang kritis, bukan oleh algoritma.










