Kanal24, Malang – Permasalahan label halal kerap kali menjadi urusan yang penuh perdebatan di kalangan masyarakat. Terlebih lagi dengan masuknya budaya-budaya asing dengan membawa segala perniknya seperti makanan, minuman, dan barang-barang khas budaya nya. Pada seri ketiga kajian fikih kontemporer bakda ashar (KAFKA) yang diadakan oleh Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB mengangkat topik yang sedang hangat dengan judul “Fikih pembangunan berkeadilan: Industri halal dan ketahanan pangan.” (3/04/2023)
Kajian ketiga ini dipimpin oleh dua orang pemateri Nurul Badriyah dan Mokhammad Nur sebagai praktisi topik fikih pembangunan berkeadilan.
Acara dibuka dengan pemberian materi oleh Nurul Badriyah yang membicarakan apa pentingnya sertifikasi halal. Masih banyak masyarakat menghiraukan masalah kehalalan produk. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa untuk apa membicarakan pelabelan halal jika Indonesia merupakan negara dengan masyarakat muslim terbanyak di dunia.
Pembicaraan perihal pelabelan halal menjadi penting karena saat ini terdapat undang-undang no.33 tahun 2014 Implementasi Jaminan Produk Halal yang berisi dimana pada tahun 2024 semua produk makanan dan minuman sudah harus memiliki sertifikasi halal, pada 2026 seluruh barang gunaan yang masuk ke Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal. Kebijakan tersebut sudah jelas tertulis dan masyarakat harus siap menghadapi.
Potensi industri Indonesia terlihat sangat jelas, jika melihat dari jumlah penduduk Indonesia yang beragam dan terbesar ke-4 setelah China, India, dan Amerika. Sayangnya, potensi tersebut tidak dapat dimaksimalkan, tidak banyak masyarakat yang menjadi produsen. Padahal seharusnya Indonesia dapat menjadi tuan rumah produk halal jika berkaca pada banyaknya jumlah penduduk yang dimiliki.
Dalam bidang perdagangan internasional sertifikasi halal yang dimiliki majelis ulama indonesia (MUI) masih kalah dengan negara lain. Karena sertifikasi halal harus di bawah langsung oleh negara, bukan di bawah MUI, karena MUI dipandang bukan sebagai perpanjangan dari negara. Oleh sebab itu pada tahun 2017 Indonesia mendirikan badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH) sebagai pengganti MUI.
Kajian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Mokhammad Nur sebagai praktisi ilmu dan teknologi pangan. dalam hal pangan memiliki dua ketentuan yaitu halal dan toyib. Untuk saat ini pelabelan halal sudah di ranah BPJPH, sedangkan pangan yang toyib masuk ke dalam BPOM, dan barang yang bermutu masuk ke dalam ranah SNI.
Kita menyayangkan bahwa setelah dicermati ada beberapa produk kehalalannya berstatus meragukan. Nur memberikan contoh masakan bakso, bakso memiliki bahan sapi yang digiling, proses penggilingan biasanya dilakukan di pasar yang kondisinya masih dipertanyakan. Kebanyakan dari tempat penggilingan tidak memiliki alat penggilingan khusus untuk produk halal.
Menurut Nur seluruh bahan baku produk halal harus tertelusuri kehalalannya, termasuk bahan tambahan pangannya juga harus ditelusuri. Terkadang produk halal memiliki bahan dasar yang halal namun bahan tambahannya yang masih belum memiliki kejelasan. Bahan tambahan tersebut termasuk bahan pewarna, perasa, penyedap, dan hal lain.
Namun terdapat pula barang yang tidak perlu disertifikasi halal seperti bahan nabati, garam, kafein, gula pasir, aspartam, dan lain sebagainya. Air juga termasuk bahan yang tidak perlu disertifikasi kehalalannya, namun air yang bisa dikatakan halal adalah yang belum melalui proses apapun. Berbeda dengan air yang telah melalui proses yang menyebabkan haram, maka air tersebut jelas memiliki label haram. “Jeruk itu halal, tetapi sari jeruk yang di pasaran berpotensi untuk haram karena bahan tambahan,” ujar Nur.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah pada Undang-undang pewajiban sertifikasi halal yang dibuat pada tahun 2014 yang mewajibkan seluruh barang dan pangan memiliki sertifikasi halal merupakan langkah yang baik. Dengan total 10 tahun pemerintah memberikan target waktu untuk seluruh pangan memiliki sertifikat halal, terhitung hingga tahun 2024. (fan)