Kanal24, Malang – Peningkatan kasus COVID-19 yang kembali terjadi di sejumlah negara menjadi perhatian para ahli. Pakar paru dari Universitas Brawijaya (UB), dr. Rezki Tantular, Sp.P, menegaskan pentingnya kewaspadaan tanpa disertai kepanikan di tengah masyarakat. Menurutnya, masyarakat perlu memahami bahwa COVID-19 kini telah memasuki fase siklus yang wajar mengalami naik-turun.
“Virus itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi masyarakat tidak perlu panik. Kita sudah punya imunitas dari vaksinasi maupun infeksi sebelumnya, tapi kewaspadaan tetap penting. Jika sedang sakit, gunakan masker. Itu langkah sederhana tapi sangat efektif,” ujar dr. Rezki.
Baca juga:
7 Manfaat Minum Madu Setiap Hari yang Jarang Diketahui
Peningkatan kasus saat ini terutama terjadi di negara-negara Asia, seperti Thailand yang mencatat sekitar 50 ribu kasus dalam waktu 8 hari dan hampir 100 ribu kasus dalam sebulan. Situasi serupa juga dilaporkan di Singapura dan Hongkong. Namun secara global, tren justru menurun, contohnya Brasil yang telah melewati puncak kasusnya pada Februari lalu.
Meski tren global membaik, dr. Rezki menekankan bahwa masyarakat Indonesia tetap harus waspada mengingat tidak adanya tes massal rutin yang membuat kasus-kasus di dalam negeri sulit terdeteksi secara akurat. “Meskipun kita tidak lakukan tes besar-besaran, kekebalan masyarakat sudah relatif baik karena banyak yang sudah vaksin dan pernah terinfeksi. COVID-19 di Indonesia sudah dianggap sebagai endemi, bukan pandemi lagi,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga meluruskan informasi yang salah yang sempat beredar di media bahwa vaksin COVID-19 tidak aman untuk wanita hamil dan anak-anak. “Ini informasi yang menyesatkan. Justru pada saat terjadi lonjakan kasus, vaksinasi menjadi semakin penting,” tegas dr. Rezki.
Pentingnya literasi informasi juga disampaikan oleh dr. Rezki agar masyarakat tidak mudah percaya pada kabar-kabar hoaks yang tersebar di media sosial. Ia menekankan perlunya peningkatan surveilans dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, terutama di masa-masa ketika kasus mulai meningkat.
Senada dengan dr. Rezki, pakar virologi sekaligus dosen Fakultas Kedokteran UB, dr. Andrew William Tulle, M.Sc, menyebut bahwa meskipun jumlah kasus menurun, virus COVID-19 belum sepenuhnya menghilang. “Sejujurnya, COVID-19 masih ada, hanya saja tidak separah dulu. Virus ini terus bermutasi dan membentuk varian-varian baru,” ujarnya.
Menurut dr. Andrew, varian-varian yang beredar saat ini masih merupakan bagian dari keluarga omikron. “Yang sekarang ini disebut-sebut sebagai varian baru, seperti XAC dan JN1 di Thailand, LF7 dan NB1.8 di Singapura, dan XAC serta JN1 di Malaysia, itu semua masih subvarian dari omikron,” paparnya.
Varian terbaru ini, tambah dr. Andrew, mengalami mutasi yang membuatnya lebih kuat dalam berikatan dengan reseptor pada saluran pernapasan, sehingga penularannya menjadi lebih mudah dibanding varian sebelumnya. Namun, ia menegaskan bahwa cara penyebaran virus ini masih melalui droplet, bukan aerosol.
“Meskipun mutasi membuat virus lebih kuat menempel di reseptor tubuh, bukan berarti cara penyebarannya seperti aerosol. Tetap lewat droplet dari batuk dan bersin,” jelasnya. Sebagai informasi, aerosol merupakan partikel halus seperti debu atau asap yang dapat melayang di udara dalam waktu lama dan bisa membawa partikel virus.
Terkait perlindungan, dr. Andrew menyarankan vaksinasi ulang, terutama dengan vaksin yang telah diperbarui sesuai varian terbaru. “Kalau memakai vaksin lama sebenarnya masih bisa, tapi daya lindungnya sudah tidak seoptimal dulu. Di luar negeri seperti Amerika, mereka rutin memperbarui vaksin setiap tahun,” tambahnya.

Baca juga:
Waspadai Diabetic Foot, Luka Kaki Akibat Diabetes Tak Terkontrol
Meskipun lonjakan kasus terjadi di berbagai negara, dr. Andrew belum melihat perlunya penutupan lintas negara. “Penutupan perbatasan belum mendesak untuk dilakukan. Yang penting adalah skrining kesehatan yang ketat bagi orang dari luar negeri yang menunjukkan gejala sakit. Kalau terdeteksi COVID-19, maka dilakukan pelacakan dan pembatasan aktivitas,” ujarnya.
Para pakar dari Universitas Brawijaya ini sepakat bahwa penanganan COVID-19 kini tidak lagi bersifat darurat seperti awal pandemi, namun tetap membutuhkan kehati-hatian dan tanggung jawab bersama. Edukasi publik, vaksinasi yang tepat sasaran, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan menjadi kunci dalam menjaga kestabilan kasus di dalam negeri.(Nid/Kanal24)